Saya tidak akan menyebutkan
namanya, sebab saya hanya ingin menyebarkan inspirasinya tentang cerita
beliau atas izinnya menceritakan tanpa perlu mengupas namanya.
Saya mengenalnya dalam satu pertemuan dan tiba-tiba kami dekat satu
sama lain. Ketika saya berkunjung ke Jakarta, kami bertemu, tidak
tanggung-tanggung seharian, beliau mengikuti setiap meeting yang saya
lakukan selama di Ibu Kota.
Dalam 3 bulan mengenalnya dan 3 kali pertemuan intens saya yakin
dia adalah partner yang bisa menjalankan beberapa project yang
didapatkan.
Beliau istimewa!
Kami berbicara tentang life style perempuan masa kini. Mall, baju
mahal, gadget, arisan, serba asisten rumah tangga, salon, dan banyak hal
lainnya.
“Kasihan perempuan yang tergerus pergaulan, dia akan tersiksa sebab
ada uang tidak ada uang dia musti beli hermes baru. Tapi uang mungkin
selalu ada, jatuhnya hanya mubazir. Jika uang itu digunakan yang lain
akan lebih menguntungkan. Penggunaan kartu kreditpun membengkak tidak
kira-kira, ini juga merepotkan.” Ujarnya sambil menyantap makanan.
Obrolan kami memang selalu asyik. Saya menganggap beliau cerdas,
bijak, dewasa, dan menyamankan. Mungkin juga karena basic pendidikan
beliau di bidang magister psikologi membuat banyak hal dipandang dalam
sudut humanisme yang proporsional.
Tidak jarang, beliau memberi masukan atas banyak hal. Karena
kekonyolan saya merasa sudah dekat, saya izin, “aku panggil nama ya,
nggak perlu pake embel-embel mbak?” Tanya saya. Dan lalu kami saling
memanggil nama, meski beliau bilang, “saya sungkan karena wibawamu.”
Tsyaaaaaah saya geliiii….
Kami ya kami kemudian menjadi satu….
Satu waktu dalam satu kunjungan ke Jakarta, saya ternyata harus
menginap dan beliau menawarkan menginap di rumahnya. Oke, saya menginap…
Dari situlah saya tahu identitasnya lebih lengkap. My God, beliau
lebih tua dari saya dan beliau adalah istri seorang Senior Vice Presiden
sebuah Bank terkemuka…haaaaa….
“Tetap panggil saya nama, nggak perlu pake mbak” ujarnya. Xixixix….saya cekikikan.
Untuk seseorang seperti beliau, saya acungkan jempol. Ada di
lingkungan perempuan tingkat atas dengan pergaulan yang berada di level
atas tetap membuat beliau membumi luar biasa.
“Saya menyukai cara saya. Tetap mengurus anak sendirian,
menyelesaikan pekerjaan rumah, bersosialisasi dengan banyak kalangan,
membangun potensi diri yang bermanfaat, berbagi, menulis, menghabiskan
banyak waktu di rumah, dan semua hal yang bisa dilakukan bersama-sama
dengan perempuan lainnya.” Ujarnya.
Untuk seseorang dengan level sosial ekonomi seperti beliau, orang
sering menyebutnya dengan sosialita, tetapi beliau adalah sosial-kita.
Sebab saya mengamati sepanjang pertemuan perjalanan kami bersama
ternyata beliau rajin sekali membagikan makanan dan oleh-oleh pada semua
orang, diam-diam menjadi donatur sosial, dan aktivitas lainnya yang
lebih bermanfaat dibandingkan membeli produk mahal yang sebetulnya bisa
beliau beli.
Ya, menjadi sosialita dengan segala kemewahannya memang adalah
pilihan masing-masing perempuan, termasuk ketika kitapun akhirnya
memilih menjadi sosialkita…
Anda pilih yang mana?