Beberapa waktu
belakangan mata dan telinga kita dijejali dengan pemberitaan yang sangat
tragis. Tentang bagaimana kekerasan dalam rumah tangga seakan menjadi tontonan
gratis dari seluruh pasang mata orang di berbagai belahan dunia.
Tragedi yang melibatkan
pasangan suami istri ini berawal dari cekcok dan berakhir dengan penembakan
pada tubuh sang istri oleh sang suami.
Innalillahi...
Menurut beberapa sumber
menyebutkan si isteri yang berprofesi sebagai dokter, meminta cerai kepada
suaminya lantaran tidak kuasa menanggung kekerasan yang acap kali diterimanya. Rumah tangga
yang telah dibina selama 5 tahun itu berakhir dengan 6 buah peluru yang
menembus tubuh dokter Letty Sultri (46).
Sungguh miris...
Bahwa apapun
permasalahannya yang terjadi di dalam rumah tangga, kekerasan bukanlah sebuah
solusi cerdas. Alih-alih berniat menyelesaikan, namun yang terjadi adalah
petaka.
Fenomena kekerasan
dalam rumah tangga hampir setiap hari terbit di hadapan kita. Yang sampai saat
ini masih menjadi pertanyaan klasik adalah mengapa hal tersebut bisa begitu
mudah terjadi?
Tentu ada faktor-faktor yang melatari adanya unsur kekerasan
dalam keluarga.
Mari kita lihat apa
saja faktor-faktor yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
tersebut;
Berbicara keras dan
menyakitkan. Perilaku seperti ini sungguh tidak ada yang norma apapun yang
memperbolehkan dan mendukungnya. Terlebih dalam hubungan kasih sayang antara
pasangan suami dan isteri. Intonasi yang keras serta makna yang terkandung
dalam pembicaraan yang menyakiti tentu saja akan menimbulkan reaksi negatif
terhadap lawan bicara. Tak jarang berujung pada percekcokan dan memancing pertengkaran.
Kurangnya kontrol
kesabaran antara kedua belah pihak. Rumah tangga adalah gudangnya masalah. Tidak
ada sebuah rumah tangga yang adem ayem tanpa masalah. Sebab proses penyatuan dua
orang yang berbeda latar belakang mengarungi bahtera pernikahan pasti akan
memiliki kendala. Namun, kesalahan yang terjadi dalam rumahtangga sebaiknya
bisa di minimalisir dengan memberi luasnya kesabaran. Sabar dalam arti kata,
tidak terburu-buru memutuskan suatu perkara. Menjadi pribadi yang semakin
bijaksana dalam berpikir dan bertindak adalah sebagai bukti kedewasaan menempa
diri dalam hidup berumah tangga.
Faktor ekonomi yang
terkadang turun naik. Ekonomi sering menjadi kambing hitam pertengkaran yang
pada akhirnya melibatkan kekerasan dalam rumahtangga. Ketika perekonomian
dirasa belum mapan, sementara tuntutan hidup sangat tinggi maka timbullah masalah.
Kurangnya terjalin
komunikasi yang terbuka. Tolok ukur keberhasilan pasangan dalam memecahkan
masalah rumah tangga ialah komunikasi yang terbuka. Suami dan istri adalah
partner hidup yang akan bersama sepanjang hayat di kandung badan. Maka sudah
selayaknya komunikasi harus menjadi tali pengikat kedua ego yang disahkan oleh
Tuhan. Apapun permasalahan yang timbul dalam rumah tangga, mesti di komunikasikan
secara terbuka agar lebih saling memahami satu sama lainnya.
Dalam banyak kasus KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga), pelakunya kebanyakan berasal dari pihak
laki-laki. Seperti halnya kasus yang dialami oleh dokter Letty diatas. Dan berakibat
fatal, yakni menimbulkan korban jiwa.
Tentu semua kita akan
mengecam tindakan yang telah diambil oleh pelaku KDRT, apapun bentuknya baik
kekerasan fisik maupun verbal. KDRT merupakan permasalahan yang sering terjadi
didalam rumah tangga. Oleh sebab itu harus dilakukan pencegahan sejak dini. Salah
satunya dengan pengamalan ajaran agama
di rumah tangga yang juga menjadi kunci sukses untuk mencegah terjadinya
mencegah terjadinya KDRT.
Marilah wahai para perempuan,
kita saling menasehati untuk menjadikan “Rumahku Istanaku”. Karena betapa pun
keadaan sebuah rumah, rumah harus menjadi tempat yang memberi kehangatan,
ketenangan, kedamaian, perlindungan dan kebahagiaan kepada seluruh anggota
keluarga.
No comments:
Post a Comment