Belajar Dari Perempuan Jepang

Muda, cantik, cerdas, dan mandiri itu kesan saya saat bertemu dengan Elisa Yoshigoe. Pertemuan kami baru sukses dilakukan setelah kami saling menukar janji bertemu diantara kesibukan aktivitas masing-masing. Tepatnya pada bulan Juli 2013 kami mulai berkenalan dan merencanakan untuk bekerjasama. Namun, pada bulan Desember 2013lah kami sempat bertemu di darat.

Kesan pertama memang menggoda, yang datang ke rumah saya ini adalah perempuan muda yang saya yakin bukan asli Indonesia :). Aha, ternyata ya, Elisa adalah blasteran Indonesia Jepang. Kami mengobrol tentang berbagai program yang mungkin bisa dikerjasamakan, namun tentu saja sebelumnya saya menyimak presentasi beliau terlebih dahulu.
Presentasi singkat itu tersaji dengan cerdas, saya amat mudah mencerna apa yang dibicarakan, dan lantas seperti biasa setelah pertemuan saya menjalin hubungan semi personal dengan Elisa. Tujuannya tidak semata-mata project akan tercapai tetapi entah kenapa saya jadi ‘kepo’ dengan kecerdasan Elisa di usia muda. Maka, sayapun makin ingin tahu tentang Jepang dan mencari tahu bagaimana perempuan Jepang saat ini.
Elisa adalah salah satu perintis dari MicroAd. Sebuah digital Agency besar di Indonesia. Kepiawaian berbisnis terlihat dari kemampuan MicroAd berkembang selama 2,5 tahun menjadi 40 karyawan dengan omzet yang saya yakin luar biasa karena klien yang dihandle MicroAd bukan klien sembarangan. Gadis cantik berusia 26 tahun ini sebelumnya sempat menjadi juri JKT48 untuk Tim J ketika pertama kali dirintis bersama dengan Akimoto-san, pencetusnya AKB48.

Kembali lagi ke perempuan Jepang, kok saya semakin kepo setelah bicara panjang lebar dengan Elisa. Menurut beliau, mamanya yang dari Jepang telah mengajarkannya untuk disiplin menggunakan kendaraan umum dan berjalan kaki. Saya yakin Elisa bukan berasal dari keluarga sederhana, tetapi cara hidupnya diajarkan untuk senantiasa sederhana.
  Menurutnya mindset masyarakat Jepang lebih  patriarchal dibanding Indonesia. Meski di kota-kota besar Jepang sudah modern, namun role housewife masih sangat diagungkan. Misalnya saja loyalitas terhadap profesi ibu rumah tangga sehingga pengurusan rumah dan anak tidak pernah diserahkan ke asisten rumah tangga ataupun baby sitter.
Selain itu, para ibu mengajarkan kemandirian sejak dini seperti yang dilakukan mamanya seperti naik angkutan umum, berjalan kaki, dan tidak menyuapi anak tapi anak harus makan sendiri. Nah, hal ini yang membuat beberapa partner Elisa yang berasal dari Jepang bingung dan menyatakan bahwa perempuan di Indonesia makin sukses makin menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter sebab di Jepang kebiasaan ini amat janggal.
Kemudian ketika saya bertanya pada Elisa, “Bagaimana jika si ibu adalah ibu bekerja atau pebisnis?” . Menurut Elisa, di Jepang pun wanita karir dan pebisnis tumbuh dengan baik, anak-anak jika di siang hari akan dititipkan ke day care namun ketika mereka di rumah, pengurusan rumah langsung dilakukan oleh ibunya sendiri tanpa pembantu ataupun baby sitter.

Namun, ada hal yang mengganjal di hati saya ketika Elisa bilang karena ekspektasi yang sangat tinggi pada perempuan, banyak wanita karir di Tokyo yang memilih tidak menikah. Pilihan ini dilakukan karena kerepotan yang akan diembannya ketika dia menikah. Masyarakat di Jepang expect ibu harus urus rumah tangga dan anak sendiri.
Well, saya sih hanya melihat dari sisi yang positifnya yaitu peran perempuan sebagai ibu dan istri amat ideal dilakukan oleh perempuan Jepang. Ketika mereka akhirnya juga berperan sebagai wanita karir atau pebisnis itu adalah pilihan dengan konsekuensi yang juga berat dengan dua peran yang harus diembannya. Sukses karir dan sukses di rumah.
Setelah berbicara dengan Elisa, saya semakin menyukai perempuan Jepang dengan perannya sebagai perempuan, istri, dan ibu. Bagaimana dengan Anda?

#foto Elisa Yoshigoe (dokumen pribadi)




 


No comments:

Post a Comment