HARGA JUAL DIRI

Dalam kegiatan ekonomi sehari-hari dimana ada transaksi jual dan beli, lazimnya harga jual ditentukan oleh pihak penjual setelah dihitung keuntungan berapa yang akan diperolehnya.
Misalnya kita belanja ke Hero Supermarket, kita harus membayar harga barang sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh pihak Hero, bahkan tidak dapat dilakukan tawar menawar.
Kalau kita belanja ke pasar tradisional pun akan sama halnya, harga ditentukan oleh si penjual dengan batasan harga paling murah setelah tawar menawar.
Pada dasarnya dalam transaksi jual-beli tersebut, harga ditentukan oleh si penjual dengan besaran keuntungan yang telah dia perhitungkan.
Adakah transaksi jual-beli yang harga jualnya ditentukan oleh pihak pembeli?
Jawabannya ADA, bahkan sangat banyak.
Mungkinkah kita sendiri termasuk pelaku transaksi jual-beli tersebut?
Mungkin saja, bahkan sangat mungkin.
Buktinya..?
Contoh :
Andy melamar pekerjaan ke suatu perusahaan.
Dalam negosiasi gaji, perusaaan akan memberi tahu bahwa ada standard gaji yg berlaku, si Andypun mulai bekerja dengan gaji yang telah ditentukan oleh perusahaan.
Karena Andy berprestasi bagus, maka dia memperoleh promosi untuk kenaikan pangkat dan gaji.
Sekarang Andy bekerja dengan tanggung jawab yang lebih besar dan harus bekerja lebih keras lagi dengan menerima gaji yang lebih besar dan posisi yang tampak lebih baik.
Andy sangat menikmati bekerja di perusahaan tersebut, dia sangat menikmati fasilitas yang diberikan oleh perusahaan, gengsinya menjadi naik, karena kesibukannya membuat dia tidak punya waktu banyak untuk keluarganya, setiap hari pulang ke rumah anaknya sudah tidur.
Karena tenggelam dengan kesibukan bekerja, Andy kurang memperhatikan kesehatannya, hingga suatu saat Andy menderita stroke berat.
Setelah menjalani perawatan selama beberapa bulan, Andy mencoba kembali bekerja di kantor, ternyata posisi / jabatan Andy sudah digantikan oleh orang lain.
Karena keterbatasan fisiknya, Andy diminta untuk mengundurkan diri dengan memperoleh sejumlah uang pesangon.
Mau tidak mau Andy harus menerima keputusan tersebut.
Andy sudah ”menjual dirinya” kepada perusahaan sampai dia tidak bisa bekerja lagi.
Apa yang menjadi pertanyaan dari contoh di atas?
Apakah jumlah uang yang diterima masih kurang?
Kalau memang kurang, berapa ”harga jual diri” yang pantas?
Hanya diri si penjual masing-masing yang menentukannya dan menjadikannya pantas atau tidak.
Siapa sajakah yang menjual diri..?
Saya..? Anda..? Teman kita..? Atau siapa..?
Jawabannya adalah Kebanyakan dari kita.
Sebetulnya bukan berapa ”harga jual diri” yang jadi masalah, tetapi siapakah yang menentukan ”harga jual diri” itu?
Apakah kita tidak punya kemampuan untuk menentukan ”harga jual diri” kita sendiri?
Andy sudah bekerja sekian lamanya, dia menikmati pekerjaannya, tetapi dia lupa bahwa dia berpenghasilan yang selalu dibatasi oleh ketentuan dari perusahaan, nilai kerjanya (”jual dirinya”) selalu ditentukan oleh pihak perusahaan, bukan dia sendiri yang menentukan besaran penghasilannya, bukan dia sendiri yang menentukan ”harga jual diri” nya.
Bahkan sampai Andy tidak bisa bekerja lagi, keputusan akhir berada di pihak perusahaan.
Mengapa hal ini sampai terjadi, bahkan sangat sering kita mendengar masalah seperti di atas?
Hal yang sering terjadi adalah karena orang tidak mau melihat kesempatan unjuk ”harga jual diri”, bisa karena takut, bisa juga karena wawasan cakrawalanya yang kurang luas karena dia merasa sudah cukup dengan apa yang dia peroleh dari perusahaan tempatnya bekerja sehingga dia tertutup untuk berbagai informasi / kesempatan unjuk ”harga jual diri”; orang seperti ini biasanya akan bekerja sebagai pegawai di suatu perusahaan sampai dengan umur pensiun.
Masih sangat banyak cerita-cerita lain yang mungkin lebih menggambarkan betapa riskannya orang-orang yang terus menerus bekerja di suatu perusahaan tanpa berpikir untuk mencoba yang lain yang dapat memberikan ”harga jual diri” yang lebih, atau... lebih jauh lagi berusaha memberikan penghargaan yang lebih tinggi kepada diri sendiri, bukan pihak lain yang menetukan ”harga jual diri” kita.
Bahkan banyak sekali terjadi orang yang mengalami ”post power syndrome” setelah pensiun dari perusahaan, karena dia selama ini terlena dengan kenikmatan fasilitas dan jabatan di perusahaan tempat dia bekerja, dia tidak siap menghadapi kenyataan pensiun, atau....bisa juga karena orang ini semasa masih aktif bekerja tidak mau membuka mata untuk melihat jauh ke depan untuk persiapan masa pensiun.
Kadangkala penulis suka bertanya kepada orang yang mengaku sudah sangat cukup dengan penghasilannya dari perusahaan dan merasa tidak perlu memikirkan sumber penghasilan di luar perusahaan tempatnya bekerja; kalau memang sudah cukup, mengapa masih mau menerima kenaikan gaji yang diberikan oleh perusahaan berikut bonus-bonusnya?
Biasanya dia akan jawab bahwa itu adalah hak karyawan.
Apakah hanya sebatas itu yang menjadi hak dia?
Apakah dia tidak bisa memperoleh penghasilan lebih?
Apakah mau selamanya menjadi ”penjual diri” dengan harga yang dibatasi / ditentukan oleh pihak perusahaan?
Kecuali jika anda pekerja sosial, sudah selayaknya anda tidak memasalahkan berapa uang yang anda dapatkan.
KITA BERHAK UNTUK MEMBERIKAN PENGHARGAAN YANG LEBIH TINGGI KEPADA DIRI KITA SENDIRI, JANGAN BIARKAN DIRI KITA TERUS MENERUS DIBATASI HARGANYA OLEH PIHAK LAIN.
Tetapi semua ini adalah pilihan, kita bebas memilih jalan yang kita mau.
Mw,Sept2005

Artikel ini ditulis oleh sahabat,Willy Maringka - Jakarta

No comments:

Post a Comment