Gara-gara Handphone…

Dalam perjalanan pulang ke Bandung dari Jakarta, saya yang menggunakan kereta Argogede dihadapkan pada sebuah pertengkaran sepasang kekasih dalam kereta. Sungguh, jantung saya berdebar melihat pertengkaran mereka. Keadaan romantis – pertengkaran – romantis – pertengkaran terjadi dalam kurun waktu hitungan jam.
Awalnya, saya yang saat itu duduk sendirian menautkan pandangan pada lelaki dan perempuan berusia dua puluhan yang duduk dempetan super romantis. Agak ngiri rupanya! Hahaha….Namun, tiba-tiba saja suasana romance itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika si perempuan tidak memberikan handphonenya pada si lelaki (mungkin untuk dicek kali ya?). Keadaan itu memanas dengan terjadi perang mulut cukup hebat..dan bruuuk, tangan si lelaki melayang ke wajah si perempuan. Luar biasanya, si perempuan dengan agresif mencakar di lelaki. Waduuuh, sungguh saat itu rasa ngiri saya langsung lenyap berganti rasa khawatir. Ini kejadian yang cukup mengerikan bagi saya! Kondisi perang mulut dan saling menyakiti secara fisik berlanjut cukup lama. Entah kenapa, penumpang yang lain bersikap cuek bebek, atau pura-pura tak tahu. Namun, saya justru harus bolak-balik ke toilet saking nervousnya.
Selepas terakhir dari toilet, saya kaget karena pertengkaran mereka telah reda dan berganti suasana romantis kembali, bahkan keduanya saling suap menyuap makanan. Ya ampun….!
Oke, saya cukup lega karenanya. Maka saya kembali duduk tenang dan membaca halaman buku yang sedari tadi terlupakan. Uuuups, belum sampai lima belas menit, mereka kembali bertengkar. Lagi-lagi masalah handphone….!
Kalau dalam puisi, saya mengatakan bahwa jika saya menjadi handphone maka orang lain harus menjadi baterenya. Demikian juga sebaliknya. Namun ternyata bagi mereka Handphone merupakan sumber masalah. Aaaaah…….
(Yogyakarta, 4 Oktober 2005)

No comments:

Post a Comment