Mbak Yuntit…

Kenapa saya betah tinggal di Yogya, ada alasan yang bisa saya urai sesuai dengan apa yang saya rasakan sejak juni kemarin mulai berdinas di sini.
Pertama, Selama saya melakukan kunjungan ke banyak kota di Jateng dan DIY. Kota Yogya merupakan salah satu kota yang paling mudah untuk mengakses banyak kota lainnya. Memudahkan saya untuk mengembangkan sayap-sayap bisnis sesuai dengan harapan perusahaan. Terlebih saya punya banyak patner yang bisa diandalkan untuk membantu kelancaran kerja.
Kedua, Entah kenapa selama saya di Yogya, saya tak pernah kehabisan ide untuk menulis. Saya rasa hampir setiap sudut bisa jadi bahan cerita. Ini tentu saja sangat menyenangkan! Bahkan selama di Yogya saya mengenal banyak penerbit yang bisa mengakui keberadaan saya sebagai seorang penulis. Ide-ide yang akhirnya terangkum menjadi naskah-naskah buku mulai bertebaran di penerbit Yogya. Tentu saja ini lebih menyenangkan secara psikologis dibandingkan keberhasilan apapun.
Ketiga, budaya di kota Yogya merupakan budaya campuran. Di satu sisi modernisasi sudah menyelinap masuk melalui banyak segi, namun rasa tradisional masih kental. Rasa Tradisonal inilah yang membuat saya merasa nyaman. Mungkin ini akibat saya pernah merasakan hidup di banyak tempat, akhirnya saya terpikat pada sesuatu yang tradisional dan sederhana dibandingkan kota-kota yang terlalu mengeluk-elukan modernisasi.
Keempat, saya jatuh cinta pada pengasuh saya di Yogya..hahaha…wanita setengah baya yang luar biasa sabar memperhatikan segala tetek bengek mengenai diri saya bernama Mbak Yuntit. Beberapa anak kost yang lain menganggap saya salah menyebut nama karena sebutan Mbak Yuntit berarti saya menyebut mbak secara double. "Panggil saja Yuntit" begitu kata teman kost saya. Yu sudah berarti Mbak. Tapi, namanya juga sudah terlanjur suka menyebut embel-embel Mbak. Saya masih keukeuh memanggilnya Mbak Yuntit. Setelah pindah dari kost lama yang merupakan 'tragedi berdarah' saya memutuskan tinggal di kost putri. Mbak Yuntitlah yang menjadi penjaga kost. Konon pemiliknya malah sudah pada meninggal. Mbak Yuntit mengabdi selama 30 tahun dan kemungkinan satu saat dia malah jadi pemilik kost.
Kedatangan saya ke tempat kost ternyata menghadirkan aura baru baginya. Semenjak saya datang beliau memperhatikan saya seperti putrinya sendiri. Segala keperluan saya disiapkan. Mulai dari membuatkan segelas susu hangat di pagi hari, hingga mengingatkan mandi sepulang kerja. Maka, mulailah saya disebut anak emas Mbak Yuntit.
Padahal…salah satu yang membuat kami dekat adalah ketika saya tidak pernah memperlakukannya sebagai hanya penjaga kostan tho! Saya memperlakukannya seperti sahabat baru yang menyenangkan dan memaklumi segala kelebihan kekurangannya. Ketika banyak yang mengatakan betapa cerewetnya beliau, saya memakluminya sebagai bentuk rasa lelah setelah seharian mengurus rumah.
Kini, kami mungkin sudah seperti ibu dan anak. Setiap saya berangkat kerja saya tak pernah absen mengecup kedua pipinya dan memeluknya dengan hangat. Bahkan setiap pagi dia selalu menunggu saya pergi bekerja dulu sebelum akhirnya menunaikan tugas sebagai tukang cuci di rumah-rumah tetangga.
Mungkin memang Mbak Yuntit adalah salah satu alasan saya betah tinggal di Yogya. Dan jika suatu saat saya harus meninggalkan Yogya, Mbak Yuntit merupakan kenangan yang tak mungkin saya lupakan. Bahkan saya pernah menawarkan beliau, jika suatu saat saya menikah..ehem..atau pindah ke rumah sendiri, beliau akan saya ajak serta. Jawaban YA belum diberikan memang, tapi ikut atau tidak, saya tahu kami saling menyanyangi satu sama lain. Selamat menyanyangi orang di sekeliling Anda dan rasakan bedanya!

(Yogyakarta, 5 Oktober 2005)

No comments:

Post a Comment