Bersyukur, itu patokannya!

Sahabat saya, punya profesi sebagai seorang penulis, dosen luar biasa, dekan, dan seabreg aktifitas positif lainnya adalah tipe orang yang sungguh luar biasa.
Di samping mengenakan busana rapih nun sederhana, berbicara apik nun sopan, dia adalah seorang pejabat yang tidak suka bermewah-mewahan di samping banyaknya prestasi yang diraih, harmonisnya keluarga, serta beberapa keunggulan yang lagi-lagi luar biasa.
Bagi sebagian orang yang mengenalnya, mungkin tidak lazim bagi orang seistimewa dia masih setia dengan bebek merahnya, bahkan seringkali saya bertanya-tanya dalam diri mengapa dia tidak membeli saja kendaraan roda empat yang bisa dibawa kemanapun dia pergi. Lebih efektif dan efisien barangkali, begitu pikir saya.
Ternyata, pada suatu sore saat kami berbincang di sebuah toko buku, dia mengatakan alangkah enaknya hidup dan berpikir sederhana. Bahwa dengan kesederhanaan yang dia miliki, banyak sekali hal yang bisa dia pelajari. Menjadi sesempurna yang orang lain inginkan, tentu saja tidak bisa! Yang paling mungkin adalah menjadi seseorang yang diri kita inginkan. Jangan takut dengan pandangan orang atas diri kita, jika kita sudah merasa bahwa yang kita lakukan benar. Dia merasa bahwa mengendalikan diri untuk melakukan konsep hidup ‘sederhana’ alias ‘tidak berlebih-lebihan’ bukan sesuatu yang gampang. Namun jika semua itu sudah dapat dilakukan maka kita akan terus merasa bersyukur. Jika kita punya mobil, maka bersyukurlah karena orang lain hanya punya motor. Jika kita punya motor, bersyukurlah karena orang lain hanya punya sepeda. Jika kita punya sepeda, bersyukurlah karena orang lain hanya punya kaki. Jika kita masih punya kaki untuk berjalan, maka bersyukurlah karena ada juga orang yang tak bisa berjalan tak punya kaki. Jika kita masih punya hati, maka bersyukurlah karena dengan hati kita bisa mengetahui segala yang tak beres dalam hidup kita. Bersyukur! Itu patokannya.

No comments:

Post a Comment