Hari ini, saya berkunjung ke Seger Snow, sebuah perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1954.
Saat melangkah ke dalamnya, saya seolah sedang melihat perjalanan panjang tentang ketekunan, adaptasi, dan cinta terhadap warisan keluarga.
Perusahaan ini kini dikelola oleh generasi ketiga yaitu Pak Trisno dan luar biasanya adalah bagaimana semangat muda itu dihadirkan tanpa menghapus akar nilai yang telah dibangun sejak puluhan tahun lalu.
Saya bersama Ibu Fifie Rahardja, sahabat yang juga dikenal sebagai penggerak Bank Sampah Bersinar, banyak belajar dari kunjungan ini.
Kami dibuat kagum karena metamorfosa perusahaan yang dulunya konvensional kini bertransformasi menjadi perusahaan yang sangat Gen Z.
Ruangan-ruangan live streaming, area packing orderan online, bahkan dapur uji coba produk serta setiap sudutnya menunjukkan satu hal: keberanian untuk berubah.
Menurut Pak Trisno, sang pemilik, kunci dari semua keberhasilan ini hanya satu — kemauan untuk beradaptasi dengan teknologi.
Bagi saya, kalimat itu menampar lembut. Karena dalam dunia literasi, hal yang sama juga berlaku: penulis yang bertahan adalah penulis yang mau belajar dan beradaptasi.
Yang membuat kunjungan ini semakin bermakna adalah ketika kami menyadari bahwa ternyata kami memiliki satu benang merah perjuangan — literasi.
Seger Snow telah melakukan gerakan literasi digital di sekolah-sekolah,
saya bergerak dengan literasi menulis,
dan Ibu Fifie dengan literasi pengelolaan sampah.
Bayangkan jika tiga gerakan ini bersatu.
Bukan hanya sekadar kolaborasi, tapi sinergi dakwah dalam bentuk paling nyata: menebar ilmu, kesadaran, dan kebaikan yang memberi keberkahan.
Kunjungan ke Seger Snow hari ini bukan hanya menambah wawasan bisnis,
tapi juga mempertegas keyakinan bahwa inovasi dan nilai-nilai spiritual bisa berjalan beriringan. Bahwa perubahan bukan ancaman, melainkan bagian dari amanah besar untuk terus bertumbuh bersama zaman.

No comments:
Post a Comment