Dia sudah tersenyum sekarang,
iya dia, anak yang saya asuh merupakan salah satu korban bullying.
Dia pernah berdiri di belakang
kelas selama jam belajar, karena tidak dikasih kursi oleh teman-temannya
Dia pernah dibuka jilbabnya secara paksa hanya untuk menyakinkan teman-teman yang lainnya kalau dia baru saja digunduli karena berkutu, lalu dia diejek si gundul.
Dia dicubiti temannya dan tidak
melawan.
Masa itu sudah selesai!
Kami membuatnya lebih percaya
diri untuk melawan.
Kami berusaha membebaskan
dirinya dari pengalaman buruk.
Saya memeluknya setiap pagi
sebelum berangkat sekolah untuk menguatkan mencapai masa depan lebih baik, dan
dia kini tersenyum dan mau berbicara...
Allah, bukan hanya dia korban
bullying, ada banyak anak telah menjadi korbannya.
Namun Allah, pelakunya pun
tolonglah mereka untuk tetap menjadi anak-anak yang tumbuh lebih sehat.
Korban dan pelaku sama-sama
butuh pertolongan.
Ya, Bu, anak-anak yang menjadi
korban bullying dan yang jadi pelakunya akan mengalami RISIKO yang cukup besar
untuk terkena dampak psikologis berupa DEPRESI, KEGELISAHAN dan GANGGUAN RASA
PANIK dalam waktu bertahun-tahun sejak masa bullying mereka berlalu.
Sebuah penelitian di Amerika
mengungkapkan bahwa DEPRESI dan KEGELISAHAN yang terjadi itu sebagai DAMPAK
bullying di sekolah. Ternyata keduanya (korban dan pelaku) sulit melupakan
setidaknya hingga mereka berusia dewasa.
Selama ini peneliti sudah tahu
seperti apa dampak bullying. Namun belum tahu secara pasti sampai seberapa lama
dampak itu bertahan. Sebagian memprediksi dampak psikologis nya berlaku dalam
jangka pendek. Dengan kata lain dalam hitungan beberapa tahun saja.
Namun kenyataannya hampir satu
dekade sejak aksi bullying terjadi, kedua pihak antara korban dan pelaku, masih
terlihat adanya jejak emosional pada korban dan pelaku bullying.
Penelitian yang dilakukan
melibatkan 1.420 pemuda dari wilayah utara Negara Bagian North Carolina. Mereka
ditanyai soal pengalaman terkait bullying antara usia sembilan hingga 16 tahun.
Mereka kemudian diselidiki kemungkinan gangguan psikologis yang dialami hingga
usia 26 tahun.
Setelah membandingkan penelitian
dengan sejarah keluarga para responden, khususnya terkait apakah mereka
mengalami masalah di dalam keluarga, tim peneliti melihat bahwa jika
dibandingkan dengan para pemuda di awal masa dewasa yang tidak punya sejarah
menjadi korban atau pelaku bullying, para mantan korban memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami aneka kondisi psikologis.
Sebagai contoh, hanya 6 persen
pemuda yang tak pernah menjadi korban bullying yang mengalami masalah
psikologis. Di sisi lain, persentase bekas korban bullying yang mengalami
masalah psikologis setelah masa dewasa mencapai 24 persen dan mereka yang
pernah jadi korban sekaligus menjadi pelaku mencapai 32 persen.
ANAK YANG PERNAH MENGALAMI
BULLYING DAN PELAKUNYA MEMILIKI RISIKO PALING TINGGI DIDIAGNOSA MENGALAMI
MASALAH KEPANIKAN ATAU DEPRESI YANG BISA MENGARAH PADA KECENDERUNGAN UNTUK
BUNUH DIRI.
Hal itu merupakan reaksi
terhadap trauma sebagai korban bullying dan juga pengalaman sebagai pelakunya.
Bahkan anak-anak yang tadinya
menjadi korban, justru tidak membangkitkan empati mereka melihat bahwa bullying
adalah cara untuk mendapatkan perhatian.
Sementara seorang yang pernah
menjadi pelaku bullying akan 4x lebih tinggi risikonya untuk mengalami gangguan
antisosial. Yang dicirikan dengan kurangnya empati dan kurang baik perilaku
dalam berhubungan dengan orang lain.
No comments:
Post a Comment