Resensi Buku: Ada Apa Dengan Tampang (Indari Mastuti)

Ada Apa dengan Tampang merupakan buku ketiga dari serial Agatha. Buku bergenre remaja yang sarat humor dan bahasa gaul. Sebagaimana cerita teenlit lainnya, serial ini menyuguhkan alur yang segar dan sangat menghibur. Disini, pembaca tak perlu mengerutkan kening tapi justru pembaca akan tercengang dan larut dalam derai tawa.

Bagi saya, membaca Agatha sama seperti nyemil kripik singkong yang gurih, renyah dan enak. Pelan-pelan saya makan tanpa perlu terburu-buru saya habiskan. Dan sebagaimana kita ketahui, singkong sarat dengan karbohidrat. Karbohidrat yang akan memberi energi lebih bagi aktivitas kita sehari-hari. Nah, demikian juga dengan buku ini, meski ringan ia mengandung gizi yang sangat berguna bagi sel-sel otak kita. Sebuah energi pencerah yang akan mebuat kita tahu dan mengerti betapa sesuatu yang terlihat sepele ternyata memiliki makna dan pesan yang sarat dan dalam. Sungguh mengesankan!

Ada Apa dengan Tampang sangat cocok dijadikan sebagai judul buku karena hampir seluruh bab yang ada bertema ada apa dengan tampang. Sebuah pertanyaan yang sangat ringan tapi ironis. Sebagaimana kita ketahui, dalam planet remaja terkadang tampang dijadikan barometer dalam pergaulan. Misalnya, tampang keren berarti baik dan tampang jelek berarti buruk. Sebuah pemikiran instan yang menjerumuskan. Hingga tak aneh jika dalam planet remaja ada sistem pengelompokan (baca: grup-grupan). Ada grup anak tajir, anak cantik, anak pinter, dan lain sebagainya. Nah, disinilah kelebihan dari buku ini. Buku ini hadir dan menyuguhkan grup alternatif yang bernama grup imut-imut tapi amit-amit.

Grup imut-imut tapi amit-amit terdiri dari empat personil yakni Agatha, Vera, Pepi dan Tery. Keempatnya mepunyai karakter yang unik dan menarik. Yang pasti, tidak berdasarkan kepintaran, kecantikan, apalagi kekayaan, tapi berdasarkan rasa persahabatan yang kental. Dalam grup ini, ada Agatha yang pintar dan jago menang dalam hampir setiap kejuaraan, ada pepy yang tajir dan bermobil, ada Tery yang cantik dan langsing, dan ada Vera yang hobi selingkuh alias playgirl. Sebuah grup yang komplit.

Dalam bab pertama diceritakan Vera naksir cowok yang tak lain adalah tetangga barunya. Cowok ini tampan dan memikat, tapi sayang angkuh. Setiap kali Vera melemparkan senyum selalu saja dikacangin. Karena gerah, ia ceritakan hal ini pada ketiga teman imut tapi amit-amitnya. Rasa penasaran membuat ketiganya melakukan investigasi. Ketiganya pergi ke rumah Vera. Dan ternyata apa yang terjadi? Ternyata cowok itu buta.

Dalam bab ketiga dikisahkan kendaraan Tery mogok. Hal ini membuatnya terpaksa naik angkot untuk pergi ke sekolah. Pengalaman naik angkot jarang sekali ia alami. Otomatis ada rasa gerah dan canggung menyelimutinya. Rasa takut yang berlebihan membuat ia menjustifikasi teman seperjalanannya. Ia berkesimpulan lelaki asing di sebelahnya adalah copet, hanya semata karena tampang lelaki itu jelek, kumuh dan berjerawat. Walhasil, sepanjang perjalanan ia memasang muka antipati meskipun lelaki itu bersikap sangat ramah dan sopan terhadapnya. Turun dari angkot, Tery histeris. Dompetnya hilang. Kontan saja, ia menuduh lelaki asing itulah yang mengambilnya. Namun, apa yang terjadi kemudian? Justru, lelaki itulah yang dengan susah payah mengembalikan dompet Tery yang terjatuh sewaktu hendak turun dari mobil angkot dalam keadaan utuh. Rasa bersalah menguasai hati Tery.

Dalam bab kesebelas dituturkan Agatha mendapat serangan teror. Teror ini dilakukan by phone. Jelas Agatha kebingungan plus kelimpungan. Bagaimana tidak, cewek dalam telpon itu mengatainya gendut, jelek, dan goblok. Benar sih, tubuh Agatha agak melar, tapi Agatha pintar kok. Lagipula, Agatha merasa tak pernah bikin masalah dengan sesiapapun. Agatha berusaha selalu baik dengan semua orang. Lalu bagaimana teror itu bisa muncul? Jawabannya masih tak jauh-jauh dengan urusan tampang. Pelakunya adalah seorang gadis super cantik dan super langsing yang merasa terganggu dan cemburu atas kedekatan Agatha dengan Dio si cowok idola. Cewek itu beropini, Agatha yang secara fisik jauh dibawahnya itu tak pantas berdekatan atau pacaran dengan Dio. Dia merasa dialah yang pantas karena secara fisik ia sempurna. Agatha menjadi kesal plus kasihan sesudahnya dan berkata: gue nggak sudi harus berantem gara-gara cowok. Sana ambil tuh, kalo Dio mau sama elu!. Agathapun berlalu.

Masih banyak lagi sketsa-sketsa makna yang terkandung dalam tiap bab buku ini. Dan tetap tak jauh-jauh dari urusan tampang. Seolah-olah buku ini hendak berkata dont judge the book from the cover!


Malang, 18 Juni 2011

Kunthi Hastorini

No comments:

Post a Comment