Novel pertama ANDRE HIRATA "Laskar Pelangi"

Laskar Pelangi:
Masa Kecil yang Ageless, Timeless, Borderless, Inspiratif!
Karya : ANDRE HIRATA

Prolog 1
....Kami menghambur kearah Syahdan, aduh ! gawat, apakah dia pingsan ? Atau gegar otak ? Atau malah mati ! Karena dia tak bernafas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk... Kami menggigil ketakutan dan Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es... Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami benar-benar panik namun dalam kegentingan yang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing karena dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian kudengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot ku ini hanya berpura-pura tewas ! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan nafas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan.... Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang mencederai lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah Pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkali-kali dan peristiwa jatuh itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak Melayu tak mampu. (Laskar Pelangi, 2005)

Prolog 2

... Mama tak bisa mengerti bagaimana celana dalam Totto-Chan yang biasa dihiasi renda setiap hari bisa robek di sekitar pantat... bagaimana celana dalam Totto-chan bisa robek-robek seperti rombengan?
Totto-chan memikirkan hal itu beberapa lama, kemudian berkata, “Begini, setiap kali menyusup lewat bawah pagar sambil bergerak ke depan, tanpa sengaja rok akan tersangkut kawat berduri. Waktu bergerak ke arah sebaliknya, celana dalamku yang tersangkut. Saat itu aku harus bilang, ‘Bolehkah aku masuk?\ dan ‘Sampai jumpa’ dari satu sisi pagar ke sisi yang lain. Jadi sudah pasti celana dalam atau bajuku akan robek.”
Mama tidak sepenuhnya mengerti cerita Totto-chan, walaupun kedengarannya kejadian itu agak mengesankan.... “Mama harus mencobanya. Celana dalam Mama pasti akan robek-robek.” (h. 113).
(Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, 2004)

Dari PENERBIT :

Pembaca tercinta, dua dunia kecil disuguhkan pada kita lewat potongan kutipan naskah di atas. Dan tak peduli apa kata para kritisi sastra, kita hanya bisa berkomentar: betapa liar, memikat, mencerahkan. Baik Tetsuko Kuronayagi, maupun Andrea Hirata, melukiskan sesuatu yang hanya mereka sendiri yang tahu: dunia privat dalam masa kecil yang mereka jalani... Kenaifan menjadi keindahan yang menakjubkan dan memikat...
Masa kecil dan pendidikan. Dua buku yang saya kutip di atas khusus mengaitkan atau menceritakan masa kecil dan dunia sekolahnya. Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuronayagi, terbit 1981, dan saat ini edisi Indonesianya sudah memasuki cetakan ke delapan1. Sebuah buku yang timeless, sekaligus ageless. Buku ini seolah menjadi ‘bacaan wajib’ mahasiswa-mahasiswa Bandung yang bergiat di Mesjid Salman pada akhir 80-an. Dan di depan mata saya sendiri, seorang gadis kecil kelas empat SD sebuah sekolah dasar di Sekip Yogya membacanya dengan tekun sembari menanti jemputan datang—awal 2005. Saya kagum dengan kekuatan buku Tetsuko memaku para pembaca dari jenjang usia yang berbeda. Saya baru menyadari, lewat buku itu, bahwa masa kecil bukanlah the past yang eksklusif milik sang pelaku. Kendati berada dalam satu konteks waktu tertentu, ternyata dunia kecil hidup begitu utuh—intact—dan karenanya memoir Tetsuko menjadi ageless sifatnya. Lalu melihat mahasiswa Bandung dan anak Yogya membacanya dengan keterpikatan yang sama, sadarlah saya bahwa buku yang berbicara tentang masa kecil anak perempuan Jepang di sekolah Tomoe yang progresif menjelang Perang Pasifik itu ternyata bersifat cultural transgressing—lintas kultural. Atau mungkin cultural borderless—tidak berbatas kultural, sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja, dari latar budaya manapun. Saya tidak tahu apakah masa kecil dan dunia pendidikan memang ada dalam ‘bahasa’ atau ‘wacana’ universal yang sama sepanjang waktu di kepala kita. Tapi barangkali, sepanjang disajikan tanpa pretensi yang egois dan narsistis dari penulisnya, tampaknya semua karya tentang ini punya potensi menjadi besar: timeless, ageless, dan borderless.
Buku kedua yang akan saya bicarakan adalah “Laskar Pelangi,” karya pertama Andrea Hirata. Buku yang ada di tangan Anda bertutur tentang masa kecil dan dunia sekolah khas Indonesia, lebih spesifik lagi: Melayu Belitong. Lengkap dengan kemelaratan, idealisme yang polos, alam yang liar, juga fantasi yang hadir memikat di setiap tikungan. Kenakalan-kenakalan kecil bercampur dengan kepolosan yang cerdas, menghadirkan satu adonan menakjubkan tentang bagaimana masa kecil dipersepsi dan dijalani oleh anak-anak yang luarbiasa ini. Mereka—para anggota ‘Laskar Pelangi’ ini-- luarbiasa karena hidup dalam keterbatasan, luarbiasa karena dibesarkan dengan idealisme pendidikan yang terasa naif di zaman sekarang, luarbiasa karena garis nasib menuntun mereka menjadi sosok-sosok yang tidak pernah terduga oleh siapapun... “Laskar Pelangi”, sebagaimana Totto-chan, berkualitas ageless, timeless, dan borderless—biarpun dituturkan dengan latar budaya Melayu Belitung yang sangat kental. Andrea menuturkannya dengan fasih, dan membiarkan imaji masa kecilnya utuh di sini, biarpun karya ini ditulis pada usia ke 27, saat semua hal sudah nyaris dicapainya, saat sebagian besar di antara kita melupakan dan mengabaikan masa kecil yang membesarkan kita. Kita membaca masa kecil yang memikat ini betul-betul dari mata seorang Ikal—Andrea kecil—maka tak heran jika setiap potongan dan perabotan dunia yang hadir di masanya juga merupakan sebuah deskripsi realisme magis-kritis, yang di beberapa bagian mungkin membuat kita merinding karena beraroma Gogol, atau bahkan Marquez (simak: Bodenga), terlebih karena metafor-metafor Andrea begitu cerdas dan kaya!
Satu lagi catatan yang perlu digarisbawahi, buku ini bersumber dari kisah nyata penulisnya. Andrea dibesarkan dalam tipikal keluarga menengah Indonesia yang lebih sering beresiko njomplang ke bawah daripada naik ke atas, di sebuah kampung miskin yang berbatasan dengan sebuah ‘kerajaan besar’—PN Timah dengan semua fasilitas yang mewah dan mahal—dalam asuhan budaya keluarga yang masih kental dengan nilai-nilai Islami. Sekolah yang diceritakan di sini adalah kelas-kelas berdinding kayu, berlantai tanah, beratap bocor, yang kalau malam menjadi kandang hewan. Tanpa poster burung Garuda, foto presiden dan wakil presiden. Amat sederhana bangunan sekolah itu. Tapi persoalan apapun menyangkut pendidikan tak pernah sederhana...
Menariknya, Andrea mengolah semua itu tanpa terjebak pada keberpihakan primordialitas, penyimpulan general dan simplistis yang menyalahkan kesenjangan ekonomi, atau melarikan semua persoalan pada isu-isu normatif yang semata-mata bersandar pada dogma-dogma religius. Lewat tuturan masa kecil di sekolahnya yang miskin (tapi mencerahkan!), lewat narasinya yang begitu peka dan kaya akan amatan sosiologis dan budaya, Andrea mengajari kita bahwa klise-klise itu benar adanya: pelajaran hidup itu bisa diperoleh di mana saja, dari siapa saja. Bahwa kita bisa menjadi siapa saja. Bahwa keterbatasan itu bukan penghalang. bahwa masa depan itu selalu unpredictable. Secara khusus, ia juga mengajari kita untuk berterimakasih pada Bapak Ibu Guru kita di sekolah kita dulu—sebagaimana ia berterimakasih dengan caranya sendiri pada Ibu Mus, wali kelas yang mengasuhnya sejak kelas satu hingga kelas tiga SMP, dan pak Harfan—sang kepala sekolah (dan begitulah Tetsuko berterimakasih pada kepala sekolahnya, Sosaku Kobayashi, lewat karyanya). Ia begitu jujur, kejujuran yang naif dan kekanak-kanakan, tapi juga cerdas dan tidak biasa, sehingga mau tidak mau kita akan selalu terkaget-kaget melihat cara pandang yang tidak biasa dari anak-anak ini2.
Laskar Pelangi jelas adalah sebuah memoar, dan mengolah memoar menjadi novel yang memikat bukan perkara gampang. Laskar Pelangi, nyatanya, menjadi memoar yang sangat menarik. Ia bisa menjadi sebuah karya yang menyentuh secara emosional, tapi juga mencerahkan secara intelektual—deskripsi yang sangat filmis (nature maupun culture ) dalam Laskar Pelangi tidak saja mampu menarikan imajinasi kita membentuk theater of mind dalam benak kita. Lebih dari itu, kekayaan referensi lewat kajian literatur yang diolah menjadi bagian-bagian menarik dalam novel ini –mengejutkan—layak pula dijadikan setidaknya sebagai awal dari suatu rujukan ilmiah. Andrea menempatkan masa kecil di novelnya dalam konteks yang tak lepas dari pergolakan sosial budaya, tapi tak berlarut-larut atau mengasyikkan diri dalam persoalan itu. Sehingga, novel ini bisa dibaca dari berbagai perspektif: eksotisme masa kecil, ilustrasi kritis-sosiologis terhadap eksploitasi Belitung, atau sekalian saja perdebatan ilmiah tingkat tinggi antara jenius-jenius yang memahami dasar-dasar Principia Newton! Alangkah menarik, sebuah novel yang bertutur masa kecil seseorang bisa memberi kita pelajaran tentang begitu banyak hal. Dan luarbiasa karena inilah karya Andrea pertama, terlebih mengingat masa dewasanya dihabiskan untuk berkecimpung di dunia angka—sebuah dunia yang jauh dari keajaiban kata-kata.
Namun, lepas dari semua keistimewaan sastrawi itu, yang biasanya hanya bisa dikecap oleh segolongan elit kritikus sastra—dan saya tidak berpretensi menjadi salah satu di antaranya—saya ingin sampaikan, bahwa sebuah karya yang menggetarkan bukan karena judul yang provokatif, atau kata-kata puitis-indah yang dirangkainya. Karya yang berhasil adalah karya yang menyentuh hati--itulah yang terjadi dengan “Laskar Pelangi.” “Laskar Pelangi” akan mengajak kita tersenyum, tertawa berulangkali. Lalu menangis, di bagian lain. Lalu tersipu, bahkan membuncah karena merasakan kemenangan merajai hati. Lalu merasa sakit ... campuran segala perasaan yang tak terkatakan. Itu semua tidak dibuat-buat, itu semua nyata, bersumber dari masa kecil yang disajikan dengan sepenuh utuh, dengan kejujuran yang penuh ... Maka, satu kata lagi perlu ditambahkan untuk novel ini: inspiratif. Bacaan di tangan Anda inilah satu di antara sedikit novel yang bakal membuat kita tergugah untuk menjenguk kembali sisa-sisa kenangan masa kecil yang mungkin masih kita miliki, dan menghormati sekolah dasar kita, guru-guru kita, lingkungan kecil kita, teman-teman bandel yang kerap menggoda dan dulu begitu menjengkelkan. Mungkin, itulah satu-satunya yang tersisa dari jatidiri kita yang masih memperlihatkan serpih kejujuran, setelah hasrat duniawi menopengi kita dengan beragam citra artifisial untuk meraih semua keinginan dalam kerakusan ambisi kita...

Komentar IIN :

Andrea...
Kamu oke banget lho! Akhirnya kamu berhasil membuat satu buku yang luar biasa baguuuus! Saya belum membaca keseluruhan dari novelmu tapi dari prolog dan beberapa kalimat yang kamu susun di dalamnya sudah membuat saya 'jatuh cinta' dan makin penasaran untuk segera baca!!Jangan lupa Dre, kita punya janji ketemu dan saling berbagi kisah mengenai kepuasan kita menulis...menulis…dan menulis.
Pengalaman masa kecil memang selalu layak untuk dikenang. Bukankah di sana kita akan menemukan perbedaan dengan kehidupan kita sekarang? Dan itu sungguh ajaib bukan? Siapa yang bisa menerka masa depan selain kita terus menerus melakukan yang terbaik dalam proses perjalanan menuju ke arah yang lebih baik!
Andrea...
Sekali lagi selamat datang di dunia penuh kebebasan beinspirasi dan berekspresi! Jangan pernah lagi mengatakan bahwa aku membuat kamu ingin menulis, tapi justru aku yang mengucapkan terima kasih karena kamu membuat keinginan menulisku semakin menggebu. Sukses untukmu, Dre!

(Yogyakarta, 22 Oktober 2005)

SO, SEGERA DAPATKAN DI BUKU GRAMEDIA TERDEKAT YAP?

No comments:

Post a Comment