#Sekolah Perempuan akan mendukung gerakan Indonesia berEmpati |
Dalam satu diskusi makan siang di Bogor, ada satu hal yang menarik dalam obrolan saya bersama dua perempuan dengan profesi berbeda yaitu bagaimana social media bisa menjadi sebuah wadah melejitkan profesi, potensi, dan kemampuan diri bukan sebagai dinding tempat mencaci, mengeluh, memojokkan, hingga membakar orang lain.
“Perusahaan saya sedang mengatur sebuah kebijakan karyawan dalam
hal menggunakan social media, salah satunya facebook. Ketika di dalam
riwayat pekerjaannya dia mencantumkan nama perusahaan berarti dia harus
menjadi brand perusahaan. Rasanya minta ampun deh lihat SDM sekarang,
telat gajian semenit aja bisa nyampah di facebook, beda pendapat ama
teman kebakaran di twitter, dan berbagai hal yang sebetulnya bisa
merugikan dia sendiri.” Ujarnya antusias.
Menurutnya kejadian saling menggugat karena pencemaran nama baik
tidak akan terjadi jika semua orang berempati pada setiap persoalan.
Menurutnya lagi, persoalan tidak akan selesai melalui sumpah serapah di
social media, malah justru membuat masalah bertambah besar.
EMPATI sebuah kata yang terdiri dari enam huruf ini dampaknya
memang luar biasa. Bayangkan jika seseorang mengatakan kemarahannya
pada orang lain melalui status di socmed, apakah Anda merasa nyaman?
Apalagi jika bahasa yang digunakan sangat kasar. Persoalannya tidak
berhenti disana, mungkin Anda akan berpikir, benarkah orang yang
dicacimakinya sedemikian buruknya? Atau bahkan Anda malah jadi antipati
padanya? Atau malah mendadak Anda kepo dan mendukungnya dengan ikut
marah pada orang yang dianggapnya bersalah? Benarkah persoalan kesalahan
ada pada dia yang dicaci? Atau, atau, atau, dan berbagai kemungkinan
lainnya yang bisa saja terjadi.
Ada satu hal lucu, suatu saat saya menangkap status yang menshare
sebuah artikel positif tentang orang nomor satu di Indonesia, di
statusnya dia menulis, “kalau berita kayak gini, saya yakin jarang yang
share :)” dan saya tersenyum dalam hati. Benar sekali, sebuah artikel
yang menarik tentang seseorang yang mungkin sedang jadi trending topic
dalam “kelemahannya” akan tershare dengan cepatnya, namun jika yang
positif, orang malah enggan menshare — entah kenapa.
Maka, ketika suatu saat saya membaca sebuah cerita menarik mengenai
seoranga istri yang hobinya mengkritik sang tetangga yang dianggapnya
tidak bisa mencuci baju. Lalu, suatu saat sang istri kaget karena cucian
tetangga jadi kinclong minta ampun, suaminya berkata, “Ma, kemarin mama
melihat jemuran tetangga dari balik jendela kita yang kotor, setelah
tadi pagi saya membersihkan kaca jendela maka mama bisa lihat bahwa yang
kotor bukan baju yang dia cuci, tapi jendela kitalah yang belum
dibersihkan.” Ujar sang suami. Ini artinya betapa mudahnya kita melihat
kesalahan orang lain sehingga lupa dengan kesalahan kita sendiri.
Empati kemudian menjadi sebuah awal koreksi kita atas langkah yang
kita ambil. Ketika orang lain kita rasa salah langkah, bukan dengan
cacimaki dia akan mengubah diri, tapi dengan bantuan kita sebagai
sahabatnya. Kita pun akhirnya akan belajar darisana. Ketika kita merasa
marah, jangan luapkan kemarahan pada orang lain tapi bertanyalah pada
diri kita sendiri, “apakah kita pernah membuat orang lain marah? Apakah
kita memang salah? Apakah kita berhak marah?” Dan berbagai pertanyaan
lain yang kemungkinan bisa menaham kita untuk memuntahkan semua emosi
kita melalui berbagai cara termasuk menulis di social media.
Bayangkan jika EMPATI ada di garda depan dibandingkan ANTIPATI
maupun SIMPATI yang berlebihan, maka kita semua akan belajar melangkah
dengan lebih berhati-hati, baik dalam sikap, lisan, hingga tulisan.
Sulitkah membangunnya? Rasanya tidak karena kita bisa memulai dari
diri kita sendiri sebelum menularkannya pada orang lain. Mari kita
sukseskan gerakan menuju Indonesia berEMPATI!
Bismillah….
No comments:
Post a Comment