Malam ini saya berdiskusi dengan seseorang yang begitu tulus ingin menuliskan kisah tentang kakeknya—seorang tokoh yang telah mendirikan sebuah pesantren.
Sayangnya, sebagian besar narasumber yang dulu mengenal sang mbah sudah tiada. Cerita yang dulu hidup lewat lisan mulai mengabur seiring waktu.
Namun saya katakan, ini bukan akhir—ini justru awal dari proses menulis biografi yang penuh makna. Kita masih bisa merajut cerita. Lewat jejak-jejak yang tertinggal, lewat memori pribadi, lewat dokumen, foto lama, dan tentu lewat perasaan yang pernah hidup dalam diri sang cucu. Cerita tentang sang kakek bisa tetap ditulis, bisa tetap dihidupkan.
Beliau pun kemudian bertanya, "Tapi buku ini nanti dijual ke siapa ya, Bu? Yang mau beli siapa? Kalau cuma buat koleksi perpustakaan yayasan, rasanya mubazir. Ya mungkin bisa dibagikan ke donatur, tapi paling untungnya branding, bukan materi."
Dan di situlah saya merasa, banyak orang belum menyadari satu hal penting: Menulis biografi bukan semata soal pasar atau profit. Tapi tentang warisan.
Ini bukan tentang siapa yang akan beli bukunya, tapi tentang siapa yang akan mendapatkan nilai dari kisah hidupnya.
Anak-cucu yang kelak membaca. Santri-santri yang belum pernah bertemu pendirinya. Masyarakat yang ingin tahu sejarah pesantren itu berdiri. Inilah yang disebut legacy—warisan hidup yang tak lekang waktu.
Biografi adalah hadiah.
Hadiah untuk orang tua.
Hadiah untuk kakek dan nenek.
Hadiah untuk mereka yang hidupnya pernah berarti.
Dan lebih dari itu, hadiah untuk masa depan yang pantas mengetahui akar dan perjuangan mereka.
Karena ketika semua telah tiada, kisahlah yang akan tetap ada.
Biografi menjaga itu semua tetap hidup.
Dan kita, sebagai penerus, diberi kehormatan untuk menuliskannya.
No comments:
Post a Comment