Buku: Hadiah Terindah untuk Orang Tua, di Dunia Maupun Setelah Tiada

Apa hadiah terbaik untuk orang tua?

Ada yang menjawab: waktu.

Ada yang menjawab: doa.

Dan kami tambahkan bahwa salah satu hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada orang tua—baik yang masih ada maupun yang telah tiada—adalah buku biografi karena buku adalah jejak sejarah.

Bukan hanya tentang siapa mereka, tapi tentang nilai-nilai hidup yang mereka wariskan, tentang kebaikan-kebaikan kecil yang tak pernah mereka ceritakan, dan tentang perjalanan hidup yang layak dikenang oleh generasi selanjutnya.

Beberapa waktu lalu, kami diberi amanah mengerjakan proyek yang sangat istimewa.

Sepuluh anak bersatu, patungan, menuliskan kisah hidup ibu dan ayah mereka dalam dua buku biografi yang berbeda, masing-masing mengupas perjalanan hidup mereka.

Bukan karena orang tua mereka tokoh terkenal. Tapi karena mereka adalah pahlawan di rumah.

Dan anak-anak ini tak ingin jejak kebaikan itu hilang begitu saja.

Saat buku itu selesai, air mata haru tak tertahankan.

Bukan hanya karena kenangan yang dihidupkan kembali, tapi juga karena keyakinan bahwa, "Ini akan menjadi amal jariyah. Ini akan memperpanjang usia kebaikan mereka meski jasad telah tiada."

Dan kami di INDSCRIPT, merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian dari kisah ini.

Kami percaya, buku bukan hanya karya—tapi hadiah yang bisa sampai ke surga.


#BiografiOrangTua

#HadiahTerindah

#JejakKebaikan

#LegacyLewatTulisan

#MenulisUntukOrangTua

#IndscriptWritingJourney

#StorytellerMuslimah

#JurnalisMuslimah

JEJAK ILMU SEORANG AYAH


Saya baru saja bertemu dengan seorang perempuan luar biasa—anak dari seorang profesor, satu-satunya profesor di sebuah desa kecil di Bogor.

Beliau adalah satu dari tujuh bersaudara. Ketika bercerita tentang ayahnya, sorot matanya menyala. Ada semangat, kebanggaan, dan cinta yang begitu kuat.

Ayahnya adalah tokoh utama dalam kisah ini. Seorang pemuda desa yang merantau ke Bandung demi mengejar pendidikan.

Perjalanan panjangnya, dari kampung sederhana hingga akhirnya menjadi seorang profesor, adalah kisah perjuangan yang tak biasa. Lebih dari sekadar pencapaian akademik, beliau menanamkan nilai kerja keras, semangat belajar tanpa henti, dan keramahan yang menjadi ciri khasnya. 

Ia dikenal sebagai pribadi yang senang menyapa, akrab dengan siapa pun, tanpa melihat latar belakang. Temannya beragam, dari rakyat jelata hingga kalangan elite.

Dan nilai-nilai itu tidak berhenti di dirinya. Ia wariskan kepada ketujuh anaknya—semua berhasil menempuh pendidikan hingga jenjang tinggi, bahkan S3. Perempuan yang saya temui ini adalah salah satunya. 

Saat berbincang dengannya, saya bisa merasakan bahwa darah pembelajar itu benar-benar mengalir kuat dalam dirinya.

Semangat belajarnya menyala, dan ketekunannya begitu terasa. Ia bukan hanya mewarisi kecerdasan sang ayah, tapi juga semangat juangnya.

Saat kami membahas rencana penulisan biografi sang ayah, ia sempat bertanya: “Lebih baik saya tulis sendiri atau dituliskan orang lain?” Saya jawab dengan yakin: lebih baik Anda menulis sendiri.

Kenapa saya menjawab demikian? Karena dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya, tulisan-tulisan itu kelak bisa menjadi banyak buku. Bukan hanya tentang ayahnya, tapi juga tentang dirinya, ilmunya, dan jejak hidupnya yang bisa menginspirasi banyak orang.


Kisah ini bukan hanya tentang seorang profesor dari desa. Tapi tentang bagaimana satu jiwa besar menyalakan obor ilmu, dan anak-anaknya kini membawa nyala itu ke dunia yang lebih luas.

MENGINSPIRASI LEWAT TULISAN

 Menulis bukan hanya tentang tinta dan kata.

Bagi saya, menulis adalah ibadah, jurnalisme jiwa, dan jalan berbagi inspirasi yang bisa mengantar hingga ke surga.

Sebagai penulis buku biografi, saya mendengarkan kisah demi kisah dengan hati. Saya tidak sekadar mencatat peristiwa, tetapi menggali makna. Sebab setiap tokoh memiliki perjalanan yang layak dikenang, dicatat, dan diwariskan.

Sebagai storyteller Muslimah, saya percaya: suara perempuan harus hadir, bukan hanya di ruang publik, tetapi juga di lembar demi lembar sejarah.
Kisah-kisah itu bukan hanya untuk dibaca—melainkan untuk menggerakkan.

Untuk menginspirasi.
Untuk menguatkan.
Untuk membangkitkan semangat orang lain agar percaya: aku juga bisa.

Jurnalisme yang saya jalani bukan untuk sensasi.
Namun untuk menyuarakan nilai. Untuk menyampaikan kisah dengan rasa.
Sebab setiap cerita adalah ladang dakwah, dan setiap tulisan adalah amal yang terus mengalir.

Hari ini, saya terus belajar, terus mendengar, terus menulis.
Karena saya tahu, dalam setiap hidup yang pernah goyah… ada cahaya yang bisa menyinari orang lain.

Mari terus berbagi inspirasi.
Bukan karena kita sempurna, melainkan karena kita pernah jatuh, pernah bangkit, dan kini ingin membagikan pelajaran itu… lewat tulisan.

Mulailah Menulis untuk Orang-Orang Terdekat, Bukan Orang Lain yang Tidak Anda Kenal

Banyak orang yang ragu menulis buku biografi karena merasa bukan siapa-siapa.

Belum sukses. Belum layak untuk ditulis.

Tapi izinkan saya menyampaikan satu hal penting:

Jangan dulu fokus kepada orang lain.

Jangan dulu pikirkan bagaimana tulisan Anda bisa menginspirasi banyak orang yang bahkan tidak Anda kenal.

Fokuslah kepada orang-orang terdekat.

Tulis untuk anak-anak Anda.

Untuk pasangan hidup Anda.


Untuk keluarga Anda yang mungkin hanya melihat hasil perjuangan Anda hari ini,

tapi tidak pernah tahu bagaimana jalan panjang yang Anda tempuh untuk sampai di titik ini.



Tulis agar anak Anda tahu…

Bahwa ayah atau ibunya pernah jatuh, bangkit, terluka, bangun lagi… dan tetap melangkah.

Tulis agar pasangan Anda bisa memahami kisah di balik diamnya Anda saat lelah.

Tulis agar keluarga Anda mengerti… bahwa cinta terbesar Anda diwujudkan dalam perjuangan yang mungkin tak pernah sempat Anda ceritakan.


Karena jika Anda hanya terus membandingkan diri dengan kesuksesan orang lain,

Anda justru menjauh dari pertumbuhan.

Ingatlah, setiap orang punya standar suksesnya sendiri.

Hari Kebebasan Pers Internasional.


Hari ini kita memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional.

Tapi bagi saya, ini bukan hanya soal pers.

Ini tentang kebebasan bersuara, dan bagi kami di Indscript, menulis adalah bentuk kebebasan yang paling indah.

📚 Karena lewat tulisan:

— Kita bisa menyuarakan isi hati

— Kita bisa menyampaikan kebenaran

— Kita bisa menggerakkan perubahan

Hari ini, rayakan dirimu sebagai perempuan yang berani bersuara lewat tulisan.

Dan kalau Anda belum mulai, maka inilah saatnya.


📌 Yuk, mulai langkah menulismu di kelas menulis Indscript.

Bersama mentor yang berpengalaman, dan komunitas perempuan yang saling menguatkan.

Chat sekarang untuk gabung!


#HariKebebasanPers #TehIndari #Indscript #KelasMenulis #PerempuanMenulis #BersuaraLewatTulisan #KelasNulisSolo #KebebasanBerekspresi #TulisKaryamu #JanganDiam

Selamat Hari Pendidikan Nasional.


Saya bukan berasal dari banyak gelar.

Tetapi saya tumbuh karena satu hal: semangat untuk terus belajar.

Belajar dari kehidupan.

Belajar dari kesalahan.

Belajar dari setiap babak yang Allah hadirkan.

Dan saya percaya, pendidikan tidak selalu berada di ruang kelas.

Kadang, ia hadir lewat pengalaman.

Lewat tulisan.

Lewat keberanian untuk mencoba.

Hari ini, saya ingin mengajak Anda untuk ikut merayakan semua bentuk pendidikan.

Yang formal maupun yang penuh perjuangan.

Yang lewat buku, maupun lewat ujian hidup.


Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Teruslah belajar, sekecil apa pun langkah Anda.

Karena selama kita belajar, kita tidak akan pernah berhenti tumbuh. 🌱


#HariPendidikanNasional #TehIndari #BelajarSepanjangHayat #PerempuanTumbuh #PendidikanUntukSemua #RefleksiDiri #KisahHidup #LiterasiPerempuan

Slow Living Business: Dari Rumah ke Rumah

 


Masya Allah, Alhamdulillah... Hari ini saya kedatangan tamu istimewa, Ci Yen. Kami ngobrol panjang—tentang dunia penulisan, tentang bisnis, dan tentu saja... tentang gaya hidup.

Saya cerita kepada Ci Yen bahwa saat ini saya sedang mengarahkan gaya hidup saya ke arah frugal living dan membangun SWA SEMBADA PANGAN di rumah. 

Dua hal yang awalnya tampak sederhana, tapi ternyata membuka pintu ide baru yang sangat menarik.

Dari perjalanan itu, lahirlah satu gagasan: Slow Living Business.

Bukan sekadar bisnis biasa, tapi bisnis yang saya siapkan untuk masa pensiun. 

Bisnis yang tidak mengejar target, tidak dikejar-kejar angka, dan sepenuhnya berangkat dari apa yang ada di rumah.

Apa yang saya tanam, apa yang saya makan, apa yang saya olah di dapur kecil saya, semua bisa menjadi bagian dari bisnis ini.

Saya tunjukkan ke Ci Yen:

Daftar jualan slow living business saya kini berisi air teh bunga telang, kombucha buatan sendiri, jus segar dari hasil kebun, sampai benih-benih dari tanaman yang saya rawat.

Semuanya ada di kulkas, dan semua itu pula yang saya sajikan untuk tamu yang datang ke rumah.

Yang menarik, para tamu yang mencicipi biasanya akan bertanya:

“Ini enak banget, belinya di mana Teh?”

“Boleh nggak saya beli dari teteh langsung?”


Dulu saya selalu jawab, “Nggak jualan kok, cuma nyuguhin aja.”


Tapi ternyata, dari pertanyaan-pertanyaan itulah benih ide tumbuh.

Kenapa tidak saya jual? Kenapa tidak dijadikan slow living business?

Dan Masya Allah, dari obrolan tadi, Ci Yen pun ikut tertarik untuk membangun SWA SEMBADA PANGAN di rumahnya sendiri. Beliau bahkan langsung membeli beberapa bibit untuk ditanam.

Bisnis ini bukan untuk kejar setoran, tapi untuk kebermanfaatan.

Bisnis yang pelan, tapi berdampak.

Bisnis yang berangkat dari rumah dan menyentuh hati.

Dan inilah yang saya sebut sebagai bisnis pensiun dari surga kecil bernama rumah.

Masya Allah, selalu ada ide baru...

Dan semoga ini bukan hanya tentang bisnis, tapi tentang keberkahan.

Biografi: Hadiah Tak Lekang Waktu untuk Mereka yang Berjasa

Malam ini saya berdiskusi dengan seseorang yang begitu tulus ingin menuliskan kisah tentang kakeknya—seorang tokoh yang telah mendirikan sebuah pesantren.

Sayangnya, sebagian besar narasumber yang dulu mengenal sang mbah sudah tiada. Cerita yang dulu hidup lewat lisan mulai mengabur seiring waktu.

Namun saya katakan, ini bukan akhir—ini justru awal dari proses menulis biografi yang penuh makna. Kita masih bisa merajut cerita. Lewat jejak-jejak yang tertinggal, lewat memori pribadi, lewat dokumen, foto lama, dan tentu lewat perasaan yang pernah hidup dalam diri sang cucu. Cerita tentang sang kakek bisa tetap ditulis, bisa tetap dihidupkan.

Beliau pun kemudian bertanya, "Tapi buku ini nanti dijual ke siapa ya, Bu? Yang mau beli siapa? Kalau cuma buat koleksi perpustakaan yayasan, rasanya mubazir. Ya mungkin bisa dibagikan ke donatur, tapi paling untungnya branding, bukan materi."

Dan di situlah saya merasa, banyak orang belum menyadari satu hal penting: Menulis biografi bukan semata soal pasar atau profit. Tapi tentang warisan.

Ini bukan tentang siapa yang akan beli bukunya, tapi tentang siapa yang akan mendapatkan nilai dari kisah hidupnya.

Anak-cucu yang kelak membaca. Santri-santri yang belum pernah bertemu pendirinya. Masyarakat yang ingin tahu sejarah pesantren itu berdiri. Inilah yang disebut legacy—warisan hidup yang tak lekang waktu.


Biografi adalah hadiah.

Hadiah untuk orang tua.

Hadiah untuk kakek dan nenek.

Hadiah untuk mereka yang hidupnya pernah berarti.

Dan lebih dari itu, hadiah untuk masa depan yang pantas mengetahui akar dan perjuangan mereka.


Karena ketika semua telah tiada, kisahlah yang akan tetap ada.

Biografi menjaga itu semua tetap hidup.

Dan kita, sebagai penerus, diberi kehormatan untuk menuliskannya.

Kisah Inspiratif Tokoh Perempuan di Indonesia; Dr. Lina Auliana (Presiden IMA Chapter Bandung)


Saya mengenalnya sejak tahun 2014. Sosok perempuan yang lembut, tapi penuh visi. Namanya Dr. Lina Auliana.

Sejak awal, saya tahu beliau bukan perempuan biasa. Ia adalah penggerak. Sosok yang dengan penuh semangat menyatukan hati dan langkah banyak perempuan di Bandung.

Sebagai Presiden Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Bandung, Dr. Lina telah menunjukkan betapa besar kontribusinya dalam membangun dunia usaha, khususnya bagi UMKM. 

Beliau tak hanya bicara strategi, tapi terjun langsung—membantu pelaku usaha kecil menemukan buyer potensialnya, memfasilitasi business matching, dan memperluas jangkauan pasar, termasuk sedang menyusun strategi agar bisa masuk ke kancah internasional melalui jaringan IMA global.

Yang paling saya kagumi dari beliau adalah kemampuannya menjaga keseimbangan. Dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau tetap hadir sebagai ibu, istri, dan sahabat yang hangat. 

Perannya di komunitas, keluarga, hingga organisasi dijalani dengan hati yang utuh, mulai dari HIPMI Jabar, KADIN Jabar, IMA, hingga berbagai organisasi lainnya. 

Saat kami kembali bertemu setelah sekian lama, perbincangan kami mengalir pada satu titik penting: pentingnya perempuan saling mendukung untuk tumbuh bersama.

Menurut beliau, perempuan tak cukup hanya jadi “ada” di rumah. Kita perlu berdaya. Kita punya pikiran, ide, dan mimpi yang layak untuk diwujudkan. 

Melalui komunitas, perempuan bisa saling dorong, saling kuatkan, dan jadi lebih produktif—bukan hanya dalam bisnis, tapi juga dalam membangun kehidupan sosial dan mendampingi keluarga.

Saya percaya, kisah Dr. Lina layak hadir dalam sebuah buku. Sebuah inspirasi tentang keberanian, keseimbangan, dan kekuatan perempuan masa kini.

Adakah friendlist saya yang kenal beliau? share dong apa yang Anda rasakan saat berhubungan dengan beliau....

Beyond BNI


Hari ini, setelah cukup pasif beberapa waktu bersama BNI (Business Network International), saya akhirnya datang lagi ke pertemuan offline. Rasanya luar biasa bisa bertemu puluhan teman-teman pebisnis yang profesional, bahkan banyak di antara mereka sudah mendunia. I'm happy!

Seperti biasa, saya membawa buku  dan memakai baju merah hehehe— sebagai ciri khas saya setiap hadir di acara networking.

Buku-buku ini saya bagikan kepada teman-teman yang sudah lama tidak bertemu, juga kepada teman-teman dari chapter lain, seperti dari Chapter Grow dan Chapter Victory.

Sambutan teman-teman luar biasa ketika saya datang, pelukan teman-teman perempuan menghampiri dan teman-teman lelaki memberi tepuk tangan saat saya diminta presentasi sebagai visitor.

Saya pun mulai belajar menjaga batas pergaulan, sebelumnya saya masih berjabat tangan dengan siapapun, kini saya menggunakan adab pergaulan sebagai muslimah sesungguhnya. Untuk menunjukkan kehangatan tak perlu berjabat tangan, dan Alhamdulillah teman laki-laki di komunitas BNI sangat menghargai keputusan saya ini, terlihat dari sambutan dalam body language mereka yang tetap ramah.

Pertemuan kali ini dipimpin oleh Presiden Chapter Bandung, Pak Enrico, bersama Vice President, Pak Shiddiq. Suasana pertemuan terasa akrab, penuh semangat kolaborasi, dan saya merasa mendapatkan banyak insight baru.

Satu hal penting yang saya garis bawahi adalah edukasi dari Pak Felix. Beliau mengingatkan bahwa kita semua harus memiliki kesempatan untuk bisa bertemu dengan keberuntungan.

Dan perjumpaan itu hanya akan terjadi kalau kita aktif menangkap setiap kesempatan yang datang. Sebuah pesan sederhana, tetapi sangat membekas di hati saya.

Hari ini memperkuat keyakinan saya bahwa jaringan bisnis seperti BNI adalah ruang berharga untuk terus bertumbuh, menangkap peluang, dan melangkah ke level berikutnya, dan saya siap kembali ke BNI menjadi salah satu muslimah yang berkibar di dunia bisnis internasional.


Bismillah...

#storytellingjournalism