Cerpen : TERNYATA!!

Hari ini aku akan berangkat lagi ke Jakarta. Seperti biasa pekerjaan mengharuskan saban sabtu berangkat ke pusat. Sekedar memberikan training untuk cabang. Kebetulan sekali perusahaan yang aku jalankan sekarang memang mengalami kemajuan pesat sehingga dalam kurun waktu dua tahun aku sudah bisa membuka cabang di Jakarta. Dan seperti biasa dibandingkan menyetir sendirian dari Bandung – Jakarta aku lebih memilih menggunakan burung raksasa. Lumayan, dua puluh lima menit sudah nyampai tujuan. Di Jakarta aku sendiri sudah dijemput oleh supir. Untunglah aku masih sendirian dalam artian lajang, kalau aku sudah bersuami mungkin dia bakalan keberatan dengan kesibukanku yang semakin luar biasa ini. Apalagi bulan depan aku akan membuka cabang baru langsung dua cabang di Surabaya dan Medan. Beruntung memang aku ini.
Well, memang sih pencarian jodoh masih aku lakukan. Tapi aku tidak mau grasak grusuk. Jodoh kan ada yang ngatur? Ya nggak?
Penerbangan masih dua puluh lima menit lagi. Aku menyapu setiap pojok ruangan waiting VIP . Hari ini ruangan ini tampak penuh dengan orang-orang sibuk. Ada lelaki perlente yang serius bercakap dengan handphone nokia 9500nya, ada perempuan dengan rambut diurai sebahu serius memelototi laptopnya, semua terlihat sibuk kecuali aku dan eit, lelaki muda itu yang sedari tadi (bukannya GR) memperhatikanku. Dan eit..dia tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya.
"Mau kemana?" tanyanya sambil mendudukkan pantatnya di sampingku.
"Tentu saja Jakarta." Jawabku sekenanya sambil membuka koran dan berusaha berkonsentrasi kembali
"Pulang? Atau dinas? Liburan?" aduh noraknya lelaki ini.Hemmm, agak norak juga lelaki ini. Well, dia pantas juga kalau jadi playboy laris. Orangnya rapih, wajahnya tampan, tinggi sekitar 180 cm dengan postur ideal, dan kelihatan pintar. Alangkah sempurnanya dia. Tapi aku tidak boleh tergoda karena kupikir dia memang hanya menggoda saja. Mungkin pikirnya kalau dapet syukur, enggak juga enggak apa-apa. Ah, begitu kan lelaki tampan masa kini. Selalu saja memanfaatkan ketampanannya untuk hal-hal yang merugikan kaum wanita. Dan itu sebabnya aku sangat berhati-hati memilih pasangan. Aku tak ingin dimanfaatkan oleh siapa pun apalagi oleh lelaki.
"Kata si mbak itu, pesawatnya delay lho mbak." Ujar si tampan sambil menyebarkan senyumnya. Wow, bibirnya yang mengembang semakin menyempurnakan wajahnya.
"Masa sih?" aku langsung bereaksi atas informasinya barusan
"Hehehe.." eh, dia malah tertawa
"Kenalan dong, mbak. Daripada manyun sendiri." Tangannya terulur
Oke deh, daripada manyun "Anjas."
Oh namanya Anjas, mirip Anjasmara nggak ya dia? "Tiara"
"Good name!" pujinya
Anjas memandangiku terus. Aku kini mulai tersenyum
"Ada yang aneh dengan wajahku?"
"Ah nggak, anda terlihat sangat pas dengan make up minimalis. Looks so beutifull." Gombal. Inilah playboy ulung kita!
Anjas menyeruput minumannya dan duduk lebih santai. Kemudian dia menyandarkan badannya di sofa. Huh, betapa waktu terasa sangaaaat lama.
"Ke Jakarta juga?" tanyaku
"Oh iya dong.." uuups, ternyata basa-basiku garing banget deh. Dia menolehkan wajahnya ke arahku.
"Saya harus manggil anda apa? Mbak, teteh, atau ibu?"
"Panggil Tiara saja."
"Oke, Tiara. Senang bisa berkenalan denganmu."
"Terima kasih."
"Ada acara apa nih ke Jakarta?atau memang orang Jakarta?"
"Oh enggak. Saya dari Bandung, asli Bandung, ke Jakarta karena urusan dinas."
"Sering ke sana?"
"Lumayan dalam bulan-bulan ini."
"Sudah sempet jalan-jalan?"
"Boro-boro. Jadwal saya sungguh padat di Jakarta lagipula saya memang tidak pernah lama di sana. Paling sehari dua hari."
"Harus jalan-jalan dong. Saya bersedia lho jadi guide."
Aku tersenyum, "Ya, lain kali."
"Bener lho. Saya sungguh-sungguh."
"Anda sendiri?"
"Panggil saya Anjas. Maksud Tiara, siapa aku?"
"Tidak sespesifik itu kok. Saya hanya ingin menanyakan anda kerja dimana atau anda memang asli Jakarta?"
"Hemm, saya juga asli Bandung tapi kebetulan saya bekerja di Jakarta."
"Ooh.." maksudku pantas dia tampan. Bandung memang bertaburan lelaki-lelaki tampan.
"Pantas saja anda kenal sekali Jakarta" ujarku mengingat dia menawarkan diri menjadi guideku.
"Sudah berapa lama di Jakarta?"
"Hampir lima tahun."
"Wow lama sekali!"
"Iya sih, tapi nggak dapet-dapet juga."
"Apanya?"
"Istri..hahaha…" dia tertawa. Semua penghuni ruangan memandang kami
"Uups..maaf." dia menutup mulutnya. Sableng. Kelihatannya dia berpendidikan tapi kok seperti tidak punya etiket.
"Tidak apa-apa. Masa lelaki seperti kamu belum memiliki pasangan." Aku tidak percaya. Sungguh!
"Kenapa memang?"
"Maksudku, hem kupikir kamu sudah mapan dalam segala hal."
"Bukan maksud pilih-pilih sih. Tapi wanita sekarang banyak maunya."
"Oh ya? Tidak semua."
"Mungkin kamu tidak." Dan kalimat anda diganti sama kamu. Dia tambah mengakrabkan diri denganku.
"Untuk wanita sesukses dan mungkin semandiri kamu. Kamu tentu amat tidak merepotkan pasangannya." Lanjutnya. Ya, tidak merepotkan karena aku memang tidak memiliki pasangan dan kesulitan mencarinya.
"Mungkin."
"Pasti lah." Ujarnya mantap. Ya, mungkin saja!
Kemudian suara merdu terdengar menginformasikan penumpang merpati Bandung-Jakarta untuk segera menuju pesawat.
"Tidak delay?" tanyaku setelah melihat jam tangan yang melingkar manis di tangan.
"Ya, aku mencari alasan untuk bisa mengobrol denganmu." Ujarnya sambil melempar senyum. Dasar!
Aku meraih tasku dan berjalan keluar ruangan. Anjas berjalan di belakangku.
Ya ampun, ternyata Anjas duduk di sebelahku lagi.
"Kita memang jodoh ya?" komentarnya santai saat kembali duduk di sebelahku.
"Bukan jodoh, kebetulan saja." Sahutku
Tapi sesaat kemudian kami terlibat percakapan yang lumayan akrab
"Menurutmu aku terlihat menyenangkan?" tanyanya
"Lumayan" jawabku
"Jangan lupa kontak aku ya kalau butuh guide. Aku nggak akan ngegigit kok."
"Well, oke deh. Mudah-mudahan aku ada waktu."
"Hidup itu harus diselingi hiburan. Jangan habiskan waktu hanya untuk bekerja bisa stress nanti." Ya, aku setuju dengan perkataannya. Tapi, aku memang sedang sibuk banget kok!
Kami pun bertukar kartu nama.
Sesampai Bandara Halim Perdana Kusuma aku segera melenggang menuju mobil jemputan dan Anjas tetap mengingatkan aku untuk mengontaknya. Sepertinya aku suka dengan gaya noraknya!
***
Dalam perjalanan menuju kantor. Pak Pardi mulai berkicau. Supirku yang satu ini rajin sekali memberikan informasi penting mengenai kantor. Hampir semua pegawai aku ketahui identitasnya dengan detail dari beliau. Lelaki berumur setengah abad itu memang piawai berdongeng.
"Bu, neng Sita tiga hari ini tidak masuk kerja."
"Lho kenapa?"
"Katanya sih dia malu karena dia hamil."
"Hamil? Bukannya dia belum menikah?"
"Ya, itu sebabnya dia malu. Kurang ajarnya lagi sang lelaki penanam benih hilang tak tentu rimba." Ujar Pak kardi bersungut-sungut.
Sita adalah administrasi logistik di kantorku. Aku kaget juga mendengar informasi ini. Setiap aku bertemu dengannya, aku tidak melihat Sita punya karaktel bandel dan abnormal. Ia malah terlihat sangat penurut dan manis.
"Kasihan dia." Aku melenguh pelan
"Makanya Bu, bapak hanya mengingatkan saja semoga ibu bisa lebih berhati-hati terhadap lelaki. Apalagi lelaki sekarang memang mau enaknya sendiri."
"Insya Allah Pak, doakan saja."
"Lha ibu sekarang dengan siapa?" tanyanya sok serius. Aku tiba-tiba teringat pada Anjas. Kok Anjas?
"Doakan saja pak, semoga pangeran itu sebentar lagi datang." Jawabku. Pertanyaan pak Kardi sangat kumaklumi karena hubunganku dengan pak Kardi bukan sekedar majikan dan supir tapi sudah seperti sahabat baik. Mungkin dia juga ikutan khawatir seperti orangtuaku karena di usiaku ke 33 aku masih sendiri.
"Pasti bapak doain."
"Amin."
"Terus, Bapak tahu dimana Sita sekarang?"
Pak Kardi menggeleng, "Tempat kostnya saja yang tahu karena mbak Sita sering saya antar beberapa hari sebelum dia ketahuan hamil. Dia seringkali pingsan di kantor. Tapi saya tidak yakin dia ada di sana"
"Kasihan dia. Bagaimana kalau kita menjumpainya sebentar?"
Pak Kardi menatapku sesaat, "Ah ibu jangan becanda. Mana bisa ibu kesana?"
"Kenapa tidak bisa? Sita adalah karyawan saya. Sudah selayaknya saya memperhatikan dia."
"Ah ibu, itu terlalu berlebihan."
"Sudahlah, kita sebentar menjenguk ke sana." Akhirnya Pak Kardi memutar jalur menuju ke tempat Sita.
Suasana kostan Sita sangat sepi, nyaris tak terlihat tak berpenghuni.
"Itu kamarnya, Bu." Tunjuk Pak Kardi
Aku melangkah menuju kamar bernomor empat di pintunya.
Tok..tok..tok…
"Siapa?" Aha..aku hafal. Sita ada di dalam
"Pak Kardi." Sahut Pak Kardi
pintu terbuka. Seraut wajah layu menyembul
"I..ibu.." Sita gugup melihatku.
"Kata Pak Kardi kamu sakit?" tanyaku
"Oh..ah..eh..silahkan duduk Bu." Sita mempersilahkan aku duduk di bangku plastic di depan kamarnya.
"Bagaimana keadaanmu, mbak?" Tanya Pak Kardi. Sita masih mematung di hadapanku. Dia mungkin kaget melihatku
"Mudah-mudahan kami akan segera menikah." Jawabannya jauh dari yang ditanyakan.
"Alhamdulillah."
"Mas, sini aku kenalkan pada bosku yang sangat baik" Sita memanggil seseorang dari kamarnya. Wajahnya langsung sumringah.
Seorang lelaki keluar dari kamar menghampiri kami
"Tiara.." pekiknya
"Anjas.." Ya Tuhan, ternyata Anjas….

No comments:

Post a Comment