Kemarin saya diundang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta dihadiri Kementerian Ekonomi Kreatif Jakarta. Undangan ini datang dari Ibu Anita, merupakan penulis Indscript di tahun 2009an dan kini menjadi seorang peneliti yang tengah mendalami pola penjualan buku di era digital.
Saya merasa senang sekali hadir di forum tersebut. Rasanya seperti reuni, karena yang hadir adalah para penerbit besar yang pernah menerbitkan buku-buku saya—mulai dari Gramedia Group, Transmedia Group, Mizan Group, hingga media dan para peneliti yang saya melihat luar biasa sekali cara memaparkan gagasannya.
Dalam diskusi itu, dibahas bagaimana industri buku bisa beradaptasi di tengah perkembangan teknologi yang sangat cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun era digital melahirkan e-book, audiobook, dan sejenisnya—buku cetak tetap tak tergantikan. Sekitar 60 persen lebih orang masih memilih buku fisik, karena pengalaman memegang, membuka lembar demi lembar, bahkan mencium aroma buku itu sendiri, adalah sebuah journey yang tak bisa diganti.
Artinya, kita sebagai penulis tidak perlu takut terhadap teknologi. Yang harus berubah hanyalah cara menjualnya. Dulu, buku-buku best seller ditemukan di rak toko buku. Sekarang, semuanya berpindah ke sosial media dan marketplace.
Interaksi jadi kunci. Ketika penulis, penerbit, dan tim pemasaran bisa membangun keterlibatan emosional dengan pembaca, maka buku akan menemukan jalannya sendiri ke tangan pembacanya. Ini yang membuat penerbit yang hadir sepakat bahwa mencari penulis yang aktif di social media menjadi kunci pertama agar buku menjadi lebih laku. Jadi, kalau penulis yang saat ini merasa introvert dan malu terkoneksi dengan zaman, bukan lagi pilihan buat mereka.
Oke, memang benar bahwa 1 dari 5 penduduk di Indonesia adalah orang yang suka membaca. Tetapi artinya, ketika penjualan buku menurun, ini bukan karena rendahnya minat baca di Indonesia. Karena tetap ya, serendah-rendahnya orang tetap berminat untuk membeli buku.
Tetapi tugas yang harus dilakukan penggiat literasi itu adalah bagaimana mereka beradaptasi dengan cara mereka jualan. Dan saya menyatakan, saya sendiri sebagai seorang penulis, saya melakukan beberapa hal sehingga saya bisa tetap beradaptasi.
Yang pertama adalah ketika saya menjadi penulis pemula, ya saya belajar, saya mencari guru. Kemudian yang kedua adalah saya take action. Yang ketiga adalah saya sempurnakan action dengan beradaptasi dengan apa yang terjadi sehingga langkah menjadi lebih tepat.
Bukan hanya itu, Indscript dan saya pribadi sangat senang mengembangkan kolaborasi dengan orang-orang yang kemungkinan besar mereka itu memang bisa membantu saya untuk interaksi buku menjadi lebih luas, misal membedah buku, aktif di komunitas, atau pola interaksi lainnya.
Dan, beradaptasi ini harus saya lakukan dari waktu ke waktu, tak pernah berhenti, dan tak perlu rindu dengan masa lalu sebab tugas kita merancang masa depan di dunia kepenulisan maka kita harus beyond writer.
Yang awalnya saya hanya mengikuti kegiatan dengan penerbit, masuk ke sekolah-sekolah, ke pesantren. Kalau di era digital ya saya harus belajar digital marketing—bagaimana cara jualan yang tepat, meskipun usia saya tidak lagi muda, tidak ada alasan untuk mengatakan _saya tertinggal_ atau _saya gaptek_ terus belajar adalah DNA seorang penulis bisa beradaptasi dengan zaman.
Dalam proses belajar inilah sejak tahun 2010 hingga saat ini saya memilih niche market buku saya ada di dalam komunitas, sehingga saya membentuk komunitas sendiri dan pembaca sendiri. Penulis buku tidak bisa mengatakan semua orang pembacanya, dia harus menentukan niche market yang tepat sesuai dengan dirinya dan bukunya.
Sebagai penulis, saya merasa bahwa penulis itu tidak boleh berhenti untuk menyempurnakan diri, menyesuaikan dengan zamannya.
#StorytellerMuslimah
#IndscriptWriterAgency
#MenulisJalanKebaikan