Rumah saya seperti sebuah rumah
semua orang.
Dan saya senang dengan kondisi
ini.
Datang dan pergi tamu,
memberikan makna tersendiri.
Kebahagiaan
saya paling besar adalah tamu yang datang menangis akan pulang dengan senyum
dan optimis.
Beberapa waktu lalu, saya
kedatangan suami istri yang akan berpisah.
Saat kedatangan mereka saya
melihat redup di matanya.
Istrinya duduk dan mulai merasa
sakit fisik.
Saya menduga sejak awal bukan
fisik yang sakit tapi hati yang sakit.
Saya mendengarkan ceritanya.
Saya menyiapkan telinga.
Memandang dengan penuh cinta.
"Apa yang harus saya
lakukan?" ujarnya.
Saya balik bertanya, "Punya
sahabat?"
Dia menggeleng dan mengatakan
bahwa hidupnya dihabiskan di rumah, kehilangan sahabat, dan tersiksa dengan
kondisi yang ada.
"Baiklah, kini saya
sahabatmu. Menangislah hingga bebanmu meringan" saya memeluknya dan dia
menangis sepuasnya di pelukan saya :')
Setelah puas menangis, baru saya
mengajaknya mengobrol, meluangkan waktu hingga jam 12 malam.
Beliau yang awalnya rebahan
karena sakit, sedikit demi sedikit beranjak duduk pelan-pelan, lalu mengikuti
goresan tangan saya di kertas membuatkan sebuah PLANNING baru dalam hidupnya.
"Saya tadi sangat lemas,
sama sekali tidak bertenaga, kini saya merasa lebih sehat dan optimis" dia
memandang saya lekat dan saya memberinya senyum.
Kami merancang hidup baru,
semangat baru, kekuatan baru.
Di pagi hari....
Saya melepas pasangan itu dengan
penuh haru: Mereka Tak Jadi BERPISAH dan mereka memiliki KEKUATAN BARU untuk
menerjang badai bersama-sama.
Perempuan hanya butuh sahabat
untuk menenangkan tangisnya, untuk melegakan dadanya, untuk berbagi dukanya,
dan untuk menjadi PARTNER diskusinya.
Persahabatan mampu mengubah
pesimis menjadi optimis.
No comments:
Post a Comment