Menulis buku Auto biografi atau
biografi membutuhkan skill bukan hanya sekedar pandai menulis tapi ada skill
khusus yang wajib diperhatikan. Ilmu ini saya sebut ilmu bunglon!
Ilmu bunglon merupakan ilmu yang membuat kita 'mendadak' menjadi orang yang sama dan memosisikan yang ternyaman bagi tokoh yang kita tulis.
Ilmu bunglon merupakan ilmu yang membuat kita 'mendadak' menjadi orang yang sama dan memosisikan yang ternyaman bagi tokoh yang kita tulis.
Ketika menulis buku Auto biografi tidak
jarang saat menulis saya menangis, marah, dan sedih menyesuaikan dengan cerita
yang saya tulis dan inilah yang membuat tulisan itu kemudian lebih bernyawa
serta sering mendapat pertanyaan dari sang tokoh, "kok seperti saya yang
nulis" :)
Dengan menulis buku biografi saya semakin
mendalami arti hidup sesungguhnya, saya belajar menjadi sukses itu bukan
sekedar perjuangan mencapai sukses, melainkan berhubungan dengan nilai-nilai
hidup yang menguatkan seseorang mengapa dia harus sukses.
Dari menulis buku biografi saya juga
belajar, bahwa kesuksesan seseorang tidak melulu tentang berapa banyak harta
bisa dia kumpulkan, berapa bisnis bisa dikembangkan, tapi juga seberapa
manfaatnya dia bagi sesama, dan seberapa kuat dia menahan badai yang menerjang
yang bisa saja meluluhlantakkan hidupnya.
Dari menulis buku biografi saya semakin
siap menghadapi setiap episode kehidupan, menjadikan tiap episode sebagai ajang
saya untuk belajar. Membuka mata saya
bahwa hidup akhirnya merupakan satu pembelajaran ke pembelajaran lainnya.
Dengan menulis buku biografi, saya dapat
menyelami pemikiran-pemikiran orang lain. Saya bisa mempelajari bagaimana cara
orang lain dalam mengembangkan diri.
Bagaimana orang lain menyikapi setiap persoalan yang dihadapinya hingga
bisa menjadi dirinya yang sekarang.
Lalu, bagaimana ketika sedang berhubungan dengan sang tokoh? saya pun menjadi bunglon yang tepat. Saat menulis seorang profesor, saya memosisikan diri menjadi seorang murid. Saat menulis seorang kakek, saya mendadak seperti cucunya. Saat menulis seorang pengusaha, saya lebih senang menjadi teman diskusinya. Saya menjadi bunglon dan ternyata kunci dari kekuatan menulis di lini autobiografi adalah sepandai apa kita mengubah diri kita saat bersama sang tokoh, meski tentu saja tidak boleh mengubah karakter penulis itu sendiri.
Lalu, bagaimana ketika sedang berhubungan dengan sang tokoh? saya pun menjadi bunglon yang tepat. Saat menulis seorang profesor, saya memosisikan diri menjadi seorang murid. Saat menulis seorang kakek, saya mendadak seperti cucunya. Saat menulis seorang pengusaha, saya lebih senang menjadi teman diskusinya. Saya menjadi bunglon dan ternyata kunci dari kekuatan menulis di lini autobiografi adalah sepandai apa kita mengubah diri kita saat bersama sang tokoh, meski tentu saja tidak boleh mengubah karakter penulis itu sendiri.
Saya menikmati konsep bunglon ini dan saya
rasa tokoh yang tulis pun demikian, karena hingga kini saya jadi memiliki
hubungan baik dengan mereka seperti saat saya menuliskannya, mereka menganggap
saya murid, cucu, teman dekat, hingga adik ^__*
Ingin tahu lebih lanjut mengenai konsep
BUNGLON?
No comments:
Post a Comment