Stress Karyawan!

Saya memahami bahwa sebuah perusahaan besar bukan hanya memikirkan individu saja tapi memikirkan nasib sejumlah karyawan yang menjadi tanggungannya. Apalah jadinya memang jika sebuah perusahaan dengan 2000 karyawan mengalami kebangkrutan. Ini berarti bukan cuman satu orang kehilangan pekerjaan, tapi 1999 yang lain sontak menjadi pengangguran.
Sahabat saya, seorang ahli direksi perusahaan yang menggurita di negeri tercinta ini, saat dua minggu lalu saya pulang ke Bandung mengundang saya makan malam dan kami berbincang mengenai banyak hal. Bersyukur sahabat yang notabene menghabiskan pendidikan dan kariernya di negeri orang, sarat akan pengalaman dan informasi. Pertemuan dengannya semakin membuat saya belajar tentang banyak hal dalam memanajemeni orang.
Stress karyawan! Itulah topik kami saat itu.
Kompetisi yang digulirkan oleh perusahaan tak jarang membuat stress karyawan. Namun, saya sangat setuju dengan sistem kompetisi karena di sana akan terjadi seleksi alam, siapa yang kompeten untuk menduduki suatu jabatan. Stress yang pertama, biasanya akan dialami oleh siapapun jika orang tersebut tidak mampu melakukan sesuatu seperti yang orang lain (khususnya, lingkungan) lakukan. Padahal sesungguhnya, itu bukan karena mereka tidak mampu, tapi kebanyakan mereka tidak mau.
Sebuah ahli kejiwaan menyatakan bahwa “ Apa yang dihasilkan oleh seseorang adalah jauh lebih kecil dari potensi diri yang sebenarnya.” Ini berarti bahwa jika Anda mendapat nilai 4 untuk matematika Anda, sebenarnya Anda bisa mendapatkan nilai 10. Itupun jika Anda mau!
Kompetisi memaksa semua orang untuk mengaktualisasikan potensi dan bakat yang mereka miliki dalam diri. Memang benar, ini butuh kerja keras dan proses cukup panjang terlebih jika Anda sudah dininabobokan dengan rutinitas-rutinitas monoton tanpa tuntutan kreatifitas tapi Anda bisa bergaji besar. Wah, merubah budaya kalem menjadi hard worker bukanlah persoalan yang mudah. Banyak yang akhirnya mengundurkan diri, pensiun dini, bahkan keluar tanpa permisi dari perusahaan.
Lantas stress yang kedua adalah ketika seorang karyawan yang kreatif dan inovatif tiba-tiba bekerja tanpa kompetisi. Tidak ada kompetisi! Yang terjadi hanyalah budaya senioritas, tingkat pendidikan, KKN, dan beberapa kebijakan birokrasi yang membuat mereka tercekal dimana-mana. Banyak stress terjadi pada manusia-manusia muda penuh ide itu karena merasa dibutuhkan namun tidak dihargai. Mengikuti alur perusahaan yang standar dan baku, walau setelah dianalisa tidak begitu menguntungkan. Upaya perubahan yang dilakukan bak menubruk gunung es. Hancur! Akhirnya seperti stress yang pertama terjadi, mereka memilih mengundurkan diri, pensiun dini atau keluar tanpa permisi.
Lantas kepulangan saya dari acara bagi-bagi ilmu itu menyimpulkan bahwa kiranya cocok Prinsip yang diberikan Bapak Esmet Untung Mardiyanto, “MEMBERI DULU BARU MENERIMA”. Jika Anda adalah karyawan, marilah kita berikan kejujuran, rasa memiliki perusahaan yang besar, mengerti kesulitan perusahaan, ikut meningkatkan citra perusahaan di mata stakeholder-nya, hidup hemat, bekerja dengan antusiasme tinggi. Jika Anda adalah pemilik perusahaan atau manajemen, maka berikanlah kepada karyawan, kemampuan, transparansi keputusan, kejujuran, daya juang, kesempatan, informasi bermutu, kreatifitas dan teladan.
Mari kita lakukan prinsip itu untuk menekan stress, bukan hanya stress di lini karyawan tapi juga stress di lini manajemen. Dan sebaiknya apapun hasil akhir yang dicapai, serahkan pada keputusan Tuhan. Lakukan saja yang terbaik untuk kepentingan bersama. Selamat Memberi!

No comments:

Post a Comment